Konservasi Papua Barat
KAJIAN TEORITIS DAN
PRAKTEK EMPIRIS
1.1.
Latar Belakang
1.1.1.
Wilayah Administrasi
Provinsi Papua Barat dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan berdasarkan INPRES Nomor 1
Tahun 2003 bernama Irian Jaya Barat, kemudian sejak Tanggal 6 Februari 2007
berubah nama menjadi Papua Barat. Luas wilayah Provinsi Papua Barat mencapai
97.024,37 Km² (berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008).
Pada awal pembentukannya, wilayah ini terdiri dari Kabupaten Manokwari, Fakfak,
Sorong dan Kota Sorong. Seiring dengan perkembangan sosial, politik, dan
ekonomi, dalam kurun waktu satu dekade provinsi ini mengalami pemekaran wilayah
administrasi menjadi 12 kabupaten dan 1 kota.
Tabel 1.1. Wilayah Administrasi Provinsi
Papua Barat
|
No
|
Kabupaten/Kota
|
Ibu Kota
|
Luas
Wilayah (Km²)/(%)
|
Kecamatan
|
Desa
|
Kelurahan
|
|
1
|
Fakfak
|
Fakfak
|
11.036,48
(11,37)
|
9
|
118
|
5
|
|
2
|
Kaimana
|
Kaimana
|
16.241,84
(16,74)
|
7
|
84
|
2
|
|
3
|
Teluk
Wondama
|
Rasiei
|
3.959,53
(4,08)
|
13
|
75
|
1
|
|
4
|
Teluk
Bintuni
|
Bintuni
|
20.840,83
(21,48)
|
24
|
115
|
2
|
|
5
|
Manokwari
|
Manokwari
|
8.664,76
(8,93)
|
13
|
191
|
9
|
|
6
|
Sorong
Selatan
|
Teminabuan
|
3.946,94
(4,07)
|
13
|
119
|
2
|
|
7
|
Sorong
|
Aimas
|
7.415,29
(7,64)
|
19
|
121
|
13
|
|
8
|
Raja
Ampat
|
Waisai
|
8.034,44
(8,24)
|
24
|
117
|
4
|
|
9
|
Tambrauw
|
Sausapor
|
5.179,65
(5,34)
|
7
|
53
|
0
|
|
10
|
Maybrat
|
Kumurkek
|
5.461,69
(5,63)
|
11
|
108
|
1
|
|
11
|
Manokwari
Selatan
|
Ransiki
|
2.812,44
(2,90)
|
6
|
55
|
0
|
|
12
|
Pegunungan
Arfak
|
Anggi
|
2.773,74
(2,86)
|
10
|
166
|
0
|
|
13
|
Kota
Sorong
|
Sorong
|
656,64 (0,68)
|
6
|
0
|
31
|
|
Papua
Barat
|
97.024,27
(100)
|
162
|
1.322
|
70
|
||
Sumber: Papua Barat Dalam Angka,
2014
Secara geografis Provinsi Papua
Barat terletak pada koordinat 0º,0” - 4º,0” Lintang Selatan (LS) dan 124º,0” -
132º,0” Bujur Timur (BT) dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut :
- Utara : Samudera Pasifik
- Selatan : Laut Banda dan Provinsi Maluku
- Barat : Laut Seram dan Provinsi Maluku
- Timur : Provinsi Papua
Sekitar 7,95% wilayah Provinsi Papua Barat merupakan wilayah
pegunungan dan 18,73% merupakan wilayah lembah. Wilayah lain lebih dari
separuhnya berada di daerah hamparan. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di
Papua Barat berbatasan dengan laut, dan hanya 37,04% desa yang berada di daerah
pesisir, sedangkan 62,96% wilayah desa lainnya yang tidak berbatasan dengan
laut (bukan pesisir).
1.1.2.
Potensi Sumber Daya Alam
Secara umum Papua Barat memiliki sumber daya alam yang
dapat dikatakan sangat melimpah, baik sumber daya alam yang terbarukan maupun
yang tak terbarukan baik didarat maupun di perairan. Bahkan dapat dikatakan
bahwa perekonomian Provinsi Papua Barat masih sangat bergantung pada
pengelolaan sumber daya alam atau masih mengandalkan ekonomi ekstraktif seperti
kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan dan peternakan.
1.
Bahan Tambang
Wilayah ini menyimpan kandungan berbagai jenis bahan
tambang baik berupa minyak, gas bumi, mineral dan batubara yang tersebar di beberapa
wilayah kabupaten/kota. Secara geologis wilayah ini dimungkinkan adanya potensi
mineral yang berlimpah. Penyebaran mineral tidak merata karena tidak meratanya
penyebaran jenis batuan.
Berdasarkan peta peta geologi skala tinjau (1 :
250.000) diketahui bahwa Papua Barat memiliki potensi bahan tambang yang cukup
besar walaupun secara kuantitatif informasi mineral tersebut belum diketahui
secara pasti. Di wilayah Kepala Burung diduga terkandung sumber daya mineral
berasal dari umur batuan tertier gas bumi dan batubara di cekungan Bintuni,
kemudian emas di Aifat, Uranium di Manokwari, Minyak bumi di Sorong dan Raja
Ampat.
2.
Hutan
Di sektor kehutanan, provinsi ini memiliki sumber daya
hutan yang sangat strategis dengan beragam keanekaragaman hayati penting,
bahkan beberapa spesies merupakan spesies endemik. Berdasarkan SK Menhut Nomor
SK.783/Menhut-II/2014 luas kawasan hutan dan perairan di Provinsi Papua Barat sebesar
9.703.611,39 Ha dengan peruntukan fungsinya sebagai berikut :
Tabel 1.2. Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Papua Barat
|
No
|
Fungsi
Kawasan
|
Luas
(Ha)
|
Persen
(%)
|
Keterangan
|
|
1
|
Kawasan Suaka Alam (KSA)
|
2.639.731,68
|
27,20
|
Seluas 928.350 Ha merupakan kawasan konservasi
perairan yang terletak di Fakfak (16.093 Ha), Raja Ampat (188.221 Ha) dan
Teluk Wondama (724.036 Ha) sesuai SK. Menhut No.SK.783/Menhut-II/2014,
Tanggal 22 September 2014.
|
|
2
|
Hutan Lindung (HL)
|
1.627.679,16
|
16,77
|
|
|
3
|
Hutan Produksi (HP)
|
2.186.063,77
|
22,53
|
|
|
4
|
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
1.777.436,57
|
18,32
|
|
|
5
|
Hutan Produksi Konversi (HPK)
|
1.472.700,20
|
15,18
|
|
|
Jumlah
|
9.703.611,39
|
100,00
|
|
|
Sumber: SK Menhut No.783 Tahun 2014.
Berdasarkan data pada tabel di atas, terlihat bahwa proporsi total luas
hutan produksi (HP, HPT dan HPK) sebesar
56,02 % dan sisanya sebesar 43,98% untuk kawasan perlindungan (KSA/KPA
dan HL), sebagaiman terlihat pada Gambar 1.1.
Proporsi tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan untuk tujuan
perlindungan masih berada di atas persentase yang disyaratkan, yaitu minimal
30%[1]. Secara fisiografi, kawasan hutan di Papua Barat
memiliki kelerengan yang bervariasi dari datar sampai sangat curam, namun
sekitar 65 % memiliki kelerengan dari curam-sangat curam dengan kemiringan di atas
25%.
[1] Distribusi
persentase kawasan hutan fungsi perlindungan dengan kawasan hutan fungsi
produksi untuk setiap kabupaten/kota tidak sama. Kabupaten Tambrauw, Pegunungan
Arfak, Teluk Wondama dan Raja Ampat memiliki kawasan hutan dan perairan dengan
fungsi perlindungan cukup signifikan.
Hutan di Provinsi Papua Barat memiliki tipe ekosistem yang berbeda-beda
dan unik karena adanya bentangan samudera dan laut di sekitarnya serta pengaruh
jenis tanah (edafic) dan iklim akibat sejarah pembentukan Pulau Papua
dan geologi masa lalu serta topografi yang ekstrim, sehingga mempengaruhi
keanekaragaman jenis (biodiversity) dan habitatnya. Pengelompokkan tipe
hutan yang terdapat di kawasan ini terdiri atas hutan/vegetasi pantai (coastal
forest), hutan rawa (swamp forest), hutan bakau (mangrove forest),
hutan batuan karang dan kapur (limestone & karstforest), hutan
ultramafik (ultramafic forest), hutan dataran rendah (low land
rainforest) dan hutan dataran tinggi/pegunungan (montane forest)
serta vegetasi alpin. Disamping pengelompokan tersebut di atas sebagai kesatuan
ekosistem utama, masih ada pengelompokan yang lebih spesifik berdasarkan
komunitas tumbuhan (assosiasi/formasi) dengan jenis yang dominan sebagai
penciri utama. Eksosistem hutan di wilayah Papua Barat menyimpan keanekaragaman
flora dan fauna yang merupakan perpaduan unsur dari dua wilayah bioregion,
yaitu Asia Tenggara dan Australia. Beragam manfaat telah diperoleh dari
ekstraksi terhadap sumber daya hutan di Papua Barat baik untuk kepentingan
negara maupun masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis data periode 2003 – 2009, diketahui bahwa tutupan
lahan hutan di Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan persentase tutupan
lahan hutan sebesar 6%, areal non hutan mengalami penurunan rata-rata sebesar
3.457 hektar per tahun atau 0,3% per tahun. Artinya peningkatan tutupan lahan
hutan berbanding terbalik dengan luas areal non hutan, dimana luas tutupan
hutan makin besar maka areal non hutan akan semakin kecil. Hal ini juga
memberikan gambaran bahwa upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Papua Barat
telah memberikan kontribusi tetapi masih relatif sangat kecil. Penambahan luas
tutupan hutan tersebut bukan merupakan hasil rehabilitasi dan reboisasi,
melainkan hasil suksesi alami.
Berdasarkan analisis data tutupan lahan (land cover) pada periode
tersebut, diketahui bahwa sebesar 88% lahan hutan masih tergolong primer, dan
sisanya sebesar 12% tergolong lahan sekunder, tanah terbuka dan Areal
Penggunaan Lain (APL). Kondisi tersebut tentunya merupakan kebanggaan yang
harus tetap dipertahankan. Namun di sisi lain desakan kebutuhan lahan untuk
pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk menuntut kebutuhan penggunaan lahan
yang akan terus meningkat. Faktor inilah yang harus menjadi perhatian
pemerintah untuk mengalokasikan lahan secara selektif dan bijaksana agar
perubahan tutupan lahan dapat dikendalikan, sehingga proporsinya masih dapat
menjamin kondisi ideal yang diharapkan.
Wilayah Provinsi Papua Barat juga memiliki kandungan lahan gambut yang
cukup luas. Berdasarkan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wetlands
International disebutkan bahwa lahan gambut di provinsi ini tahun 2000 – 2001
seluas 974.217 Ha (12,22%) dari luas lahan gambut di seluruh Pulau Papua dengan
kandungan karbon tersimpan sebesar 318,11 juta ton C. Kandungan karbon
tersimpan ini harus dijaga agar tidak teremisi ke udara melalui pengelolaan
lahan-lahan gambut secara lestari. Sebaran lahan gambut di Papua Barat dominan
terdapat di Sorong Selatan dan Kawasan Teluk Bintuni seperti terlihat pada
gambar berikut.
1.
Pertanian dan Pangan Lokal
Selain bahan tambang dan sumber daya hutan, Papua Barat
memiliki kekayaan dari sektor pertanian. Hamparan lahan pertanian yang tersebar
di hampir seluruh wilayah mulai dari dataran hingga pegunungan, merupakan aset
penting dan strategis. Sebagian besar penduduk (asli) sangat bergantung dari
pemanfaatan lahan pertanian. Meski belum sepenuhnya mampu mewujudkan ketahanan
pangan daerah, sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang menyediakan
bahan pangan strategis bagi penduduk yang hidup di wilayah ini. Produksi
pertanian yang dominan adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan keladi
serta berbagai jenis sayuran. Sumber pangan lainnya yang sangat strategis dan
tersedia secara alamiah adalah sagu. Hamparan hutan sagu alam di provinsi ini
mencapai lebih dari 600.000 Ha yang tersebar di beberapa wilayah, sebagai berikut:
Tabel 1.3. Potensi dan Sebaran Sagu Alam di Papua Barat
|
Kabupaten
|
Kerapatan
|
APL
|
HL
|
HP
|
HPK
|
HPT
|
KSA/KPA
|
Total
|
|
Kaimana
|
Tinggi
|
685,37
|
4.484,36
|
40.774,65
|
9.998,54
|
9.123,44
|
77,52
|
65.143,88
|
|
Rendah
|
|
1.671,83
|
|
444,61
|
52,53
|
|
2.168,97
|
|
|
Jumlah
|
|
685,37
|
6.156,19
|
40.774,65
|
10.443,15
|
9.175,97
|
77,52
|
67.312,85
|
|
Sorong
|
Tinggi
|
182,08
|
417,33
|
8.838,34
|
66.747,11
|
813,58
|
615,51
|
77.614,05
|
|
Rendah
|
|
|
498,59
|
422,04
|
|
0,00
|
920,62
|
|
|
Jumlah
|
|
182,08
|
417,33
|
9.337,03
|
67.169,14
|
813,58
|
615,51
|
78.534,67
|
|
Sorong
Selatan
|
Tinggi
|
1.323,56
|
59.594,48
|
58.451,74
|
109.063,21
|
17.378,24
|
|
244.487,66
|
|
Rendah
|
|
3.014,45
|
|
987,77
|
1.138,98
|
|
5.141,19
|
|
|
Jumlah
|
|
1.323,56
|
62.608,93
|
58.451,74
|
110.050,97
|
18.517,22
|
|
249.628,85
|
|
Teluk
Bintuni
|
Tinggi
|
|
8.493,57
|
61.843,13
|
93.725,90
|
19.815,12
|
1.073,31
|
186.274,60
|
|
Rendah
|
|
4.754,35
|
|
4.696,71
|
4.117,44
|
|
13.568,49
|
|
|
Jumlah
|
|
|
13.247,92
|
61.843,13
|
98.422,61
|
23/932,56
|
1.073,31
|
199.843,09
|
|
Teluk
Wondama
|
Tinggi
|
|
|
|
4.858,54
|
1.255,35
|
38,35
|
6.152,24
|
|
Jumlah
|
|
|
|
|
4.858,54
|
1.255,35
|
38,35
|
6.152,24
|
|
Total
|
|
2.191,02
|
82.430,36
|
170.406,55
|
290.944,41
|
53.694,67
|
1.804,69
|
601.471,69
|
Sumber: laboratorium GIS Fakultas Kehutanan UNIPA, 2005
Pada awalnya, potensi sagu alam hanya dimanfaatkan oleh
masyarakat adat sebagai bahan pangan keluarga. Namun seiring dengan tuntutan
peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, potensi sagu alam saat ini telah
menjadi incaran bagi para pemilik modal. Beberapa perusahaan telah memperoleh
hak konsesi pemanfaatan sagu alam untuk berbagai tujuan ekonomi. Selain potensi
sagu, Papua Barat memiliki potensi pala
di beberapa kabupaten seperti di Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong Selatan
dan Kaimana. Bahkan komoditas pala menjadi komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
unggulan bagi Kabupaten Fakfak dan Kaimana.
2.
Kelautan dan Perikanan
Provinsi Papua
Barat memiliki wilayah laut seluas 5.220.353,03 Km2 dengan garis
pantai sepanjang 10.448,12 Km (Bakorsutanal dan hasil pengukuran GIS skala
1:250.000 tahun 2009 dari citra landsat 2000). Pada Tahun 2013 produksi
perikanan laut/tangkap mencapai 108.211,80 ton. Tiga kabupaten penghasil
terbesar yaitu Kabupaten Manokwari, Fakfak dan Sorong. Disepanjang Bentang Laut
Kepala Burung (BLKB) Papua terkenal akan keanekaragaman hayati, habitat-habitat
terumbu karang dan populasi-populasi biota laut. Wilayah ini memiliki terumbu
karang yang paling beragam di dunia dengan lebih dari 1.754 jenis ikan karang
dan lebih dari 603 jenis karang, dimana termasuk yang mungkin dapat bertahan
dari dampak negatif perubahan iklim. Teluk Cendrawasih memiliki taman laut
terluas yang ada di Indonesia. Keunikan sejarah geologis dan oseanografisnya
menyebabkan Teluk Cendrawasih mengalami proses isolasi yang berulang-ulang,
sehingga menjadikannya sebagai pusat beragam spesies endemik. Abun merupakan
lokasi terpenting di dunia sebagai tempat bertelurnya Penyu Belimbing terbesar
yang masih tersisa di wilayah Pasifik, sedangkan Kaimana dikenal dengan hutan
bakau dan keberadaan populasi kelompok mamalia laut yang terancam punah.
Wilayah perairan juga menyediakan potensi pengembangan pariwisata bagi daerah
ini.
Papua Barat terkenal dengan panorama keindahan alam
yang eksotis. Sebagian besar panorama alam tersebut bahkan masih sangat alami
dan belum terjamah komersialisasi pariwisata. Sebagian besar objek wisata belum
terekspos sehingga belum banyak dikenal khalayak umum. Salah satu objek wisata
yang mulai popular adalah wisata bawah laut Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah
ini, kurang lebih ada 610 pulau dan hanya sekitar 35 pulau yang berpenghuni.
Perairan Raja Ampat merupakan salah satu dari 10 perairan terbaik untuk diving
site di dunia, bahkan diperkirakan menjadi urutan satu untuk kelengkapan dan
keanekaragaman hayati flora dan fauna bawah laut saat ini.
Wisata alam lain yang menjadi andalan Papua Barat
adalah Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) yang terletak di Kabupaten Teluk
Wondama. Panjang garis pantainya 500 Km dengan luas daratan mencapai 68.200 ha,
luas laut 1.385.300 Ha dengan rincian 80.000 Ha kawasan terumbu karang dan
12.400 Ha lautan. Ekowisata di kepala burung Pulau Papua terdapat Cagar Alam
Pegunungan Arfak (CAPA) di Kabupaten Pegunungan Arfak, dengan luas sekitar
68.325 Ha dengan ketinggian mencapai 2.940 mdpl. Terdapat juga Danau Anggi Giji
dan Danau Anggi Gita yang berada pada ketinggian 2000 mdpl. Belum lama ini di
Pegunungan Arfak ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di
dunia oleh tim ekspedisi speleologi (ahli gua) Perancis di Kawasan Pegunungan
Lina di Iranmeda, Distrik Didohu dengan kedalaman gua mencapai 2000 meter.
Selanjutnya di bagian selatan kepala burung, di Kabupaten Kaimana terdapat
wisata pantai dan laut Teluk Triton disamping keindahan panorama Senja di
Kaimana.
1.1.1.Karakteristik
Sosio-Ekologi
Provinsi
Papua Barat didiami oleh beragam etnis, baik etnis asli Papua, maupun bukan
asli Papua. Jumlah penduduk dari waktu-ke waktu terus mengalami peningkatan,
baik karena faktor kelahiran maupun perpindahan penduduk. Berdasarkan data
hasil sensus 2010 disebutkan bahwa penduduk di Papua Barat berjumlah 760.422
jiwa dan pada tahun 2013 jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 828.923 jiwa.
Mata pencaharian penduduk relatif beragam, namun sebagian besar (80%) masih
menggantungkan penghidupannya dari pemanfaatan sumber daya alam seperti hutan,
perikanan, pertanian dan peternakan.
Penduduk asli Papua sebagian besar hidup di wilayah kampung mulai dari
pesisir hingga pegunungan yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan
alam (sumber daya alam). Relasi sosio-ekologi tersebut telah berlangsung secara
turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga melembaga. Oleh
karenanya, disejumlah tempat dapat ditemukan pandangan atau filosofi yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Suku Kuri Pasai memandang bahwa sumber daya
alam (lahan/hutan/laut) ibarat rahim sungai dan laut yang memberi kehidupan
bagi manusia (Erari, 1999). Pandangan yang tidak berbeda juga dianut oleh
masyarakat asli yang mendiami wilayah Pegunungan Arfak, dimana mereka memiliki
pandangan bahwa sumber daya alam ibarat ibu kandung yang memberi air susu
kepada anaknya. Pandangan tersebut dalam prakteknya teraktualisasi ke dalam
pengelolaan sumber daya alam, dimana prinsip-prinsip pemanfaatan yang dapat
menjamin siklus keberlanjutan diterapkan. Filosofi tersebut menegaskan bahwa sumber
daya alam (tanah, hutan, laut, sungai) diyakini oleh masyarakat adat sebagai
milik mereka secara komunal. Rasa memiliki atas sumber daya alam dan
pandangan/filosofi tersebut tentunya mengandung implikasi bahwa masyarakat adat
berhak untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
secara wajar, begitu juga sebaliknya pada waktu yang bersamaan melekat
tanggungjawab untuk melestarikannya agar dapat menjamin keberlangsungan
hidupnya.
Perwujudan filosofi masyarakat adat atas sumber daya alam sebagaimana
dimaksud dalam kehidupan sehari-hari memiliki istilah atau sebutan
berbeda-beda. Bagi masyarakat di Raja Ampat dikenal istilah sasi.
Sasi merupakan suatu larangan yang berhubungan dengan tradisi atau adat istiadat
Misool. Sasi dilakukan oleh masyarakat adat yang melibatkan tokoh adat,
tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendiami sebagian besar pesisir
pulau-pulau di Misool. Sasi diibaratkan sebagai sebuah tabungan, dimana kita
bisa menabung dan mengambil tabungan kita kapan saja. Sasipun demikian,
dimana kita dapat menutup suatu wilayah untuk memberi waktu kepada jenis biota
yang di sasi itu berkembang dan membukanya jika jenis biota yang telah disasi
tersebut sudah melimpah. Sasi itu dilakukan pada tempat-tempat yang telah
disepakati bersama oleh tokoh-tokoh dan masyarakat di wilayah tersebut. Sasi
dibuat untuk membatasi pengambilan dan memberikan kesempatan kepada biota-biota
yang hidup diwilayah sasi untuk berkembang biak. Proses pembuatan sasi
dilakukan dengan upacara adat, seperti pemasangan “Samsom” atau yang
dikenal dengan sebutan “siri pinang” yang dipimpin langsung oleh ketua
adat bersama dengan masyarakat adat yang ada diwilayah itu. Sasi dilakukan
sejak dulu sampai saat ini, karena dengan adanya kegiatan sasi, bisa memberikan
hasil yang memuaskan dan menjamin kebutuhan ekonomi masyarakat secara
terus-menerus.
Selain sasi ada pula istilah Igya Ser Hanjob yang dikenal di wilayah
Pegunungan Arfak. Dalam
aturan adat yang berlaku pada masyarakat di Pegunungan Arfak, terdapat bentuk
pengelolaan hutan yang dikenal dengan nama Igya ser hanjob (dalam bahasa
Hatam/Moule) atau Mastogow hanjob (dalam bahasa Soughb). Igya dalam
bahasa hatam berarti berdiri, ser artinya menjaga dan hanjob berarti
batas. Secara harfiah Igya
serhanjob mengandung makna berdiri menjaga batas, namun batas disini bukan
hanya bermakna sebagai suatu kawasan, namun secara luas bermakna mencakup
segala aspek kehidupan masyarakat di Pegunungan Arfak.
Pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh
masyarakat adat di Provinsi Papua Barat pada dasarnya masih tergolong
subsisten, dimana proporsi terbesar hasilnya dialokasikan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Teknik pemanfaatan lahan ataupun teknik penangkapan
hasil-hasil perikanan masih sangat tradisional dengan peralatan sederhana.
Meskipun demikian, disadari bahwa seiring dengan perkembangan wilayah dan
semakin terbukanya aksesibilitas daerah, bertambahnya jumlah penduduk,
meningkatnya kebutuhan dasar masyarakat dan derasnya arus “modal” masuk,
diyakini berpengaruh terhadap konsistensi penerapan pandangan/filosofi tersebut
dalam pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karenanya, pengetahuan tradisional
perlu dijaga dari ancaman degradasi, sehingga kelestariannya dapat
dipertahankan sebagai modal sosial untuk membangun provinsi ini.
1.1.2.
Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Sumber daya alam yang ada di
wilayah Papua Barat merupakan modal/aset strategis bagi pembangunan daerah yang
harus dikelola secara bijak. Dari sisi pemanfaatan saat ini, sebagian besar potensi
sumber daya alam telah di “kapling-kapling” untuk berbagai kepentingan.
a.
Hutan
Pada sektor kehutanan, dari total
luas hutan produksi (HP, HPT dan HPK) sebesar 5.436.200,54 Ha, telah
dieksploitasi potensi berbagai jenis kayu komersialnya oleh pemegang Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA). Pada Tahun 2005,
terdapat 27 perusahaan IUPHHK-HA (23 perusahaan aktif) yang beroperasi di Papua
Barat, dengan luas 4,560,000 Ha atau mencakup areal seluas 83,88% dari total
luas hutan produksi. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan dengan Peraturan
Gubernur Papua Barat yang berkaitan dengan peredaran hasil hutan kayu dalam
rangka penghentian peredaran kayu bulat keluar Papua Barat secara bertahap dan
untuk memacu pertumbuhan industri pengolahan, saat ini jumlah pemegang
IUPHHK-HA mengalami penurunan.
Pada Tahun 2015, pemegang
IUPHHK-HA yang masih aktif tercatat sebanyak 20 IUPHHK-HA dan 1 IUPHHK-HTI
dengan luas areal konsesi seluas 2.980.955 Ha atau 54,84 % dari total luas
hutan produksi. Namun demikian, dari luas areal konsesi tersebut hingga saat ini
belum ada 1 (satu) konsesi pemanfaatan hutan di dalam kawasan hutan yang telah
dikelola oleh masyarakat adat. Sejumlah inisiatif dan upaya untuk mendorong
pengelolaan hutan oleh masyarakat adat telah dan sedang dilakukan oleh beberapa
LSM dan masih dalam tahap memperoleh SK Pencadangan Areal Kerja (PAK) Hutan
Desa yaitu di Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana dan Distrik Manggroholo,
Kabupaten Sorong Selatan. Sebaran dan luas konsesi IUPHHK-HA di Provinsi Papua
Barat sampai Maret 2015 sebagai berikut :
Tabel 1.4. Sebaran dan Luas Konsesi IUPHHK-HA di Papua Barat Tahun
|
No
|
Kabupaten
|
Perusahaan
|
Luas
(Ha)
|
Kategori
|
Keterangan
|
|
I
|
IUPHHK-HA
|
|
|
||
|
|
Fakfak
|
PT. Arfak Indra
|
177.900
|
Aktif
|
|
|
Sorong
|
PT. Mancaraya Agro
Mandiri
|
97.820
|
Aktif
|
||
|
Manokwari
|
PT. Megapura Mamberamo
Bangun
|
55.100
|
Aktif
|
||
|
Sorong Selatan
|
PT. Bangun Kayu Irian
|
139.970
|
Aktif
|
||
|
Kaimana
|
PT. Hanurata
|
234.470
|
Aktif
|
||
|
PT. Irmasulindo
|
174.540
|
Aktif
|
|||
|
PT. Kaltim Hutama
|
161.670
|
Aktif
|
|||
|
PT. Wana Kayu Hasilindo
|
84.000
|
Aktif
|
|||
|
PT. Asco Prima Nusantara
|
171.270
|
Aktif
|
|||
|
Teluk Bintuni
|
PT. Manokwari Mandiri
Lestari
|
90.980
|
Aktif
|
||
|
PT. Bintuni Utama Murni
Wood
|
82.120
|
Aktif
|
PHPL
|
||
|
PT. Yotefa Sarana Timber
|
123.565
|
Aktif
|
|||
|
PT. Teluk Bintuni Mina
Agro Karya
|
237.750
|
Aktif
|
|||
|
PT. Wukirasari
|
116.320
|
Aktif
|
|||
|
PT. Papua Satya Kencana
|
195.420
|
Aktif
|
PHPL
|
||
|
Teluk Wondama
|
PT. Karunia Tama
Sejahtera
|
115.800
|
Aktif
|
PHPL
|
|
|
PT. Wapoga Mutiara Timber
|
299.925
|
Aktif
|
|||
|
PT. Wijaya Sentosa
|
130.755
|
Aktif
|
PHPL
|
||
|
Tambrauw
|
PT.Multi Wahana Wijaya
|
107.740
|
Aktif
|
||
|
Maybrat
|
PT. Mitra Pembangunan
Global
|
83.950
|
Aktif
|
||
|
|
2.881.065
|
||||
|
B
|
IUPHHK-HTI
|
|
|
||
|
Teluk Bintuni
|
PT. Kesatuan Mas Abadi
|
99.890
|
Aktif
|
||
|
Jumlah
|
2.980.955
|
||||
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, 2015.
b.
Perkebunan
Sektor lain yang mendominasi
pemanfaatan sumber daya lahan adalah perkebunan. Hingga periode Agustus 2015 ada
30 perusahaan perkebunan (sebagian besar perkebunan kelapa sawit) yang telah,
sedang dan akan mengembangkan komoditi perkebunan monokultur. Kawasan hutan
yang dicadangkan untuk investasi pada sektor ini mencapai 631.111 Ha dan dari
luasan pencadangan tersebut, seluas 401.537,44 Ha telah dilepaskan dari kawasan
hutan dengan areal konsesi seluas ± 523.741,00 Ha yang tersebar di Kabupaten
Manokwari, Tambrauw, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama dan Teluk Bintuni.
Sebanyak 7 perusahaan telah beroperasi dan 14 perusahaan masih dalam tahap
persetujuan prinsip dan pelepasan kawasan hutan.
c.
Pertambangan
Pertambangan minyak, gas bumi,
mineral dan batubara juga potensial terjadi di Papua Barat baik yang masih
dalam tahap eksplorasi maupun sudah dalam tahap eksploitasi/produksi.
Perusahaan tambang yang sudah beroperasi/berproduksi adalah LNG Tangguh di
Teluk Bintuni dan Petro China International di Sorong. Perusahaan lain yang
masih dalam tahap eksplorasi tercatat sebanyak 14 perusahaan sektor migas dan 2
perusahaan sektor batubara.
Tabel 1.5. Persetujuan Izin
Kegiatan Eksplorasi Tambang di Papua Barat Periode s/d Juli 2015.
|
No
|
Perusahaan
|
Luas
(Ha)
|
Fungsi Kawasan Hutan
|
Masa Berlaku
|
Keterangan
|
|||
|
HL
|
HPT
|
HP
|
HPK
|
|||||
|
1
|
Genting Oil Kasuri.
Pte.Ltd
|
168,22
|
168,22
|
Jul-12
|
Migas
|
|||
|
2
|
Petro China International
(Bagong#2 &SWO#12)
|
8,16
|
8,16
|
Sep-13
|
Migas
|
|||
|
3
|
Petro China International
(North Arar#2) perpanjangan
|
4,00
|
4,00
|
Sep-15
|
Migas
|
|||
|
4
|
Petro China International
(North Walio#1& Payao#1)
|
9,30
|
9,30
|
Okt-13
|
Migas
|
|||
|
5
|
Petro China International
Klalin #1
|
4,10
|
4,10
|
Feb-14
|
Migas
|
|||
|
6
|
Petro China International
(Klafajar #1, South East Jaya#1&Klabaru#1)
|
14.176,00
|
14.176,00
|
Agust-14
|
Migas
|
|||
|
7
|
Genting Oil kasuri.
Pte.Ltd
|
168,22
|
168,22
|
Okt-14
|
Migas
|
|||
|
8
|
JOB Pertamina-Petrochina
Salawati
|
13,45
|
Apr-15
|
Migas
|
||||
|
9
|
Petro China international
(Klari#2, Walio Extension#1)
|
8,33
|
8,33
|
|||||
|
10
|
PT. MontD"Or (Baladewa-1,
East Baladewa-1, BLLF, BLL-B2, BLL-C
|
39,50
|
Mei-15
|
Migas
|
||||
|
11
|
PT. Bintuni Barindo
Persada
|
8.645,00
|
Mei-15
|
Batubara
|
||||
|
12
|
Petro China International
(Klaimas#1, North Klalin#2,North Klalin#3)
|
16,71
|
16,71
|
Nop-15
|
Migas
|
|||
|
13
|
PT. Bara Bumi Semesta
|
8.810,00
|
3.865,49
|
4.944,51
|
Agust-15
|
Batubara
|
||
|
14
|
Eni Arguni I Ltd
|
13.218,37
|
Feb-16
|
Migas
|
||||
|
15
|
Genting Oil Kasuri.
Pte.Ltd (perpanjangan ke-2)
|
229,11
|
92,04
|
50,59
|
86,48
|
Apr-16
|
Migas
|
|
|
16
|
Krisenergy (Udan Emas)
|
33,36
|
Mei-16
|
Migas
|
||||
|
Jumlah
|
45.551,83
|
-
|
3.957,53
|
5.003,26
|
14.641,36
|
|||
d.
Pertanian
Sektor lain yang juga sangat
strategis bagi wilayah ini adalah pertanian. Lahan pertanian umumnya berupa
lahan sawah menetap dan kebun berpindah-pindah. Sawah lahan basah merupakan
penghasil padi yang dominasi pengusahaannya oleh penduduk transmigrasi,
sedangkan kebun berpindah-pindah (rotasi) umumnya diusahakan oleh masyarakat
asli Papua. Pada Tahun 2012/2013 luas panen beberapa komoditi pertanian tanaman
pangan tercatat sebagai berikut :
a)
Padi Sawah :
6.794 Ha
b)
Padi Ladang :
729 Ha
c)
Jagung :
1.250 Ha
d)
Ubi Kayu :
1.082 Ha
e)
Ubi Jalar :
1.343 Ha
e.
Kelautan dan Perikanan
Papua Barat memiliki wilayah laut
dan perairan yang sangat luas dengan beragam potensi didalamnya. Selain
berbagai keanekaragaman hayati laut, perairan di wiayah ini juga mengandung
potensi minyak dan gas bumi. Pada dasarnya wilayah perairan telah diatur ke
dalam dua fungsi utama yaitu wilayah perlindungan/konservasi dan wilayah
pemanfaatan. Wilayah perlindungan/konservasi perairan yang terdapat di Papua
Barat adalah sebagai berikut :
Kabupaten Kaimana
Di wilayah ini terdapat seluas 514.285 Ha
Kawasan Konservasi Perairan/Laut Daerah (KKPD Kaimana) yang telah
ditetapkan melalui PERDA Nomor 11/2014 dengan rincian sebagai berikut:
a) Wilayah Buraway seluas
240,493 Ha
b) Wilayah Kaimana seluas 122,586
Ha
c) Wilayah Etna / Yamor
115,481 Ha
d) Wilayah Arguni seluas 35,726
Ha
Kabupaten Raja Ampat
Di wilayah ini terdapat seluas 1.242.570 Ha
Kawasan Konservasi Kelautan Daerah (KKPD Raja Ampat) yang ditetapkan melalui
PERDA No. 27/2008). Kewenangan manajemen untuk jaringan ini KKL (UPTD / BLUD
KKPD Raja Ampat) secara resmi didirikan dengan Keputusan Bupati No.7 / 2011.
KKPD Raja Ampat terdiri dari 'pengelolaan kawasan' berikut:
a. KKPD Ayau / Asia seluas 101.440
Ha
b. KKPD Dampier seluas 303.200
Ha
c. KKPD Kofiau seluas 170.000 Ha
d. KKPD Misool seluas 343.200 Ha
e. KKPD Teluk Mayalibit seluas
53.100 Ha
f. KKPN Kepuluan Waigeo
Sebelah Barat seluas2 71.630 Ha (KepMen No.65 / 2009)
Kabupaten Tambrauw
Di wilayah ini terdapat seluas 194.988 Ha
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Tambrauw ("KKPD Tambrau")
yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati Nomor 46 tahun 2013. Wilayah
perlindungan ini ditujukan untuk melindungi penyu belimbing terutama habitat
pantai untuk bersarang.
Kabupaten Teluk Wondama
Di wilayah ini
terdapat Taman Nasional Teluk Cenderawasih seluas 1.453.000 Ha. Di kawasan
tersebut terdapat beragam jenis ikan dan terumbu karang yang bernilai penting
dan strategis. Pengelolaan taman nasional tersebut dibawah tanggungjawab Balai
Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Diluar kawasan-kawasan perlindungan/konservasi tersebut
merupakan wilayah pemanfaatan intensif yang banyak dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar/korporasi.
1.1.3.
Ancaman Kelestarian Sumber Daya Alam
Potensi
sumber daya alam yang ada di Provinsi Papua Barat merupakan modal dasar
pembangunan jangka panjang yang sangat strategis. Seiring dengan perkembangan
wilayah, kebutuhan akan sumber daya alam terus mengalami peningkatan untuk
berbagai kepentingan. Pertambahan jumlah penduduk, pemekaran wilayah mulai dari
tingkat kampung, distrik dan kabupaten berimplikasi terhadap semakin tingginya
tekanan terhadap keberadaan lahan, hutan dan wilayah perairan. Sementara itu
pada sisi lainnya, tuntutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah saat
ini masih dominan mengandalkan peran investor/pemilik modal melalui pemberian
ijin/konsesi wilayah tambang, perkebunan dan IUPHHK. Tekanan terhadap sumber
daya alam juga disebabkan karena kebutuhan lahan dan atau wilayah tangkap
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Analisis data
dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Provinsi
Papua Barat belum sepenuhnya mampu menjamin aspek kelestarian/keberlanjutan.
Proses perencanaan masih sangat sektoral dan belum terintegrasi dengan baik,
masih terjadi tumpang-tindih pemanfaatan hutan/lahan dan perairan antar sektor,
konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin/konsesi korporasi masih cukup
tinggi. Rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pemanfaatan
sumber daya alam juga menjadi ancaman serius. Ketidakadilan akses atas sumber
daya alam merupakan pemicu konflik pengelolaan sumber daya alam yang pada
gilirannya akan berimplikasi terhadap kerusakan. Adanya pembalakan liar serta
kegiatan alih fungsi hutan (deforestasi) telah mengakibatkan sejumlah hutan di
Papua Barat mengalami degradasi. Beberapa ancaman serius terhadap kelestarian sumber daya alam sebagai
modal pembangunan diantaranya adalah seagai berikut :
a.
Deforestasi
Pada periode Tahun 2005-2009 telah terjadi kerusakan hutan yang sangat besar
di Papua Barat yaitu seluas 1.017.842 Ha atau rata-rata sekitar 254.460 Ha per
tahun atau sekitar 25% dari laju deforestasi nasional pada periode yang sama. Selanjutnya berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan RI pada kurun 2012 – 2013 terjadi deforestasi seluas
10.620,2 Ha dan jumlah lahan kritis pada Tahun 2013 mencapai 487.343 Ha dengan tingkat
kekritisan kritis 410.601 Ha dan sangat kritis 76.742 Ha. Deforestasi tersebut disebabkan karena adanya alih fungsi kawasan hutan
yang direncanakan maupun karena aktivitas yang ilegal.
b.
Konflik Sosial
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap rencana dan aktivitas investasi di
Papua Barat menimbulkan konflik sosial, terutama dengan masyarakat pemilik hak
ulayat. Sebagian besar konflik disebabkan karena pelibatan masyarakat pemilik
hak ulayat dalam pengambilan keputusan sebelum investasi dilaksanakan tidak
cukup transparan dan akuntable. Konflik juga terjadi saat perusahaan sedang
beroperasi, karena kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun tidak dapat
dipenuhi.
c.
Ketimpangan Akses
Ketimpangan akses dalam pengelolaan sumber daya alam yang paling
menonjol terjadi pada sektor kehutanan, dimana dari 2,9 juta Ha kawasan hutan
yang dieksploitasi, seluruhnya merupakan konsesi yang diberikan kepada
korporasi. Sementara disisi lainnya, masyarakat tidak difasilitasi dengan
memadai untuk memperoleh hak konsesi dalam kawasan hutan.
Sejauh ini masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat atas hutan hanya
diberikan hak untuk memungut dengan ketentuan yang tidak cukup adil. Di sisi
lain sejauh belum ada upaya secara nyata yang dilakukan terkait penataan
wilayah adat.
d.
Pembalakan Liar
Meski kasus pembalakan liar mengalami penurunan dalam satu dekade
terakhir ini, namun praktek pembalakan liar ditingkat tapak masih ditemukan.
Lemahnya penegakan hukum, pengawasan dilapangan dan ketidak-adilan atas akses
legal yang diberikan mengakibatkan masih terjadi illegal logging. Ijin
pemungutan kayu yang diberikan kepada masyarakat yang seharusnya tidak dapat
diperdagangkan, namun dalam kenyataannya dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek kelestarian
hutan.
e.
Bencana Ekologi
Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menerapkan prinsip-prinsip
kelestarian mengakibatkan ancaman bencana yang mulai intensif terjadi pada sejumlah
wilayah di Papua Barat. Ancaman yang dimulai dari bencana yang sifatnya seperti
banjir bandang yang melanda sejumlah tempat ketika musim hujan. Banjir bandang
di Wasior, Sorong dan Manokwari yang terjadi beberapa waktu lalu dan
mengakibatkan sejumlah kerugian, ditengarai salah satu penyebabnya adalah
akibat pembukaan vegetasi hutan pada wilayah-wilayah resapan air. Demikian
halnya dengan bencana alam yang bersifat situasional (temporer) akibat
aktivitas manusia maupun alam.
f.
Angka Kemiskinan Yang masih Tinggi
Meskipun Papua Barat dikarunia kekayaan alam yang sangat melimpah, namun
tidak serta merta penduduk yang hidup diwilayah ini menikmati dengan baik
kekayaan tersebut. Angka kemiskinan diwilayah ini masih tergolong cukup tinggi,
meski secara perlahan-lahan mengalami perubahan/penurunan. Pada tahun 2010,
angka kemiskinan sebesar 34,88 % dan pada tahun 2014 mengalami penurunan
menjadi 26,67 %. Angka kemiskinan yang masih tinggi tersebut mengindikasikan
bahwa pengelolaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan belum optimal dan
belum sebesar-besarnya dapat mensejahterakan masyarakat. Padahal 80% penduduk
di wilayah Papua Barat penghiduannya masih bergantung terhadap sumber daya
alam. Akses legal yang belum adil dan rendahnya kapasitas dalam pemberdayaan
masyarakat merupakan hal-hal penyebab terjadinya kondisi ini.
1.1.4.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan
Provinsi
Papua Barat dengan potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, maka
konsekwensinya adalah bahwa penduduk diwilayah ini harus hidup dalam tingkat
yang sejahtera. Sekitar 80% penduduk yang hidup di wilayah ini menggantungkan hidupnya
dari pemanfaatan sumber daya alam. Keberadaan sumber daya alam menjadi bagian
bahkan menyatu secara budaya, religi dan cara pandang hidup (the way of life) yang mentradisi secara turun
temurun.
Pemanfaatan sumber daya alam yang
tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, tidak menerapkan prinsip-prinsip
kelestarian dan hanya berorientasi manfaat ekonomi semata diyakini akan
berdampak terhadap rusaknya sumber daya alam yang dalam jangka panjang akan
mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Sumber daya alam baik di darat
maupun di perairan merupakan satu kesatuan eko-region yang saling mempengaruhi.
Oleh karenanya, pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah ini harus
dilakukan secara bijak, hati-hati dan dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut dan agar proses penyelenggaraan pengelolaan sumber
daya alam dapat lestari sebagai modal pembangunan daerah, maka perlu diatur
dalam kerangka Peraturan Daerah Khusus tentang Papua Barat sebagai Provinsi
Konservasi.
1.2.
Identifikasi Masalah
Melimpahnya sumber daya alam sebagai modal pembangunan
daerah jangka panjang yang dimiliki Provinsi Papua Barat ternyata tidak serta
merta dapat mensejahterakan penduduk di wilayah ini, terutama Orang Asli Papua.
Sebagian besar penduduk hidup diwilayah yang masih jauh dari pusat pemerintahan
dengan aksesibilitas yang sangat terbatas. Angka kemiskinan masih tinggi, akses
terhadap pangan, air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan layanan dasar
lainnya masih jauh dari harapan.
Analisis terhadap berbagai hasil kajian menunjukkan
bahwa ketimpangan akses legal dan lemahnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan merupakan faktor
utama yang mempengaruhi kondisi tersebut. Selain itu penyelenggaraan
pembangunan yang belum sepenuhnya secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan berdampak terhadap kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Agar sumber daya alam (sebagai modal alam jangka panjang)
yang dimiliki Provinsi Papua Barat ini dapat dikelola untuk mewujudkan
kesejahteraan penduduk (utamanya Orang Asli Papua), maka beberapa permasalahan
dibawah ini perlu ditangani secara sungguh-sungguh yaitu :
a.
Bagaimana caranya agar pengelolaan sumber daya alam di
Provinsi Papua Barat dikelola secara adil dan berkelanjutan untuk mewujudkan
tercapainya kesejahteraan penduduk secara terus-menerus berlandaskan pijakan
hukum.
b.
Bagaimana caranya agar penyelenggaraan pembangunan di
Provinsi Papua Barat dan investasi dapat dilakukan tanpa mengabaikan hak-hak
masyarakat adat dan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan hidup.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Naskah Akademik
dan Rancangan Peraturan Daerah ini disusun agar digunakan dalam pembuatan dan
penetapan pijakan hukum terkait dalam upaya untuk memecahkan permasalahan
dimaksud.
LANDSAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1.
Landasan Filosofis
Konservasi
sumber daya alam hayati di Indonesia adalah salah satu bentuk perlindungan
ekosistem alam dan lingkungan yang masih menjadi salah satu prioritas penting
bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk terus berupaya meningkatkan pola
atau sistem pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang berbasis ekologis. Konservasi sumber
daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediaannya
dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Tujuan konservasi adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam hayati ini,
telah menjadi bagian dari skema umum kebijakan pemerintah di bidang alam dan
lingkungan yang diharapkan dapat menjaga ekosistem di masa mendatang.
Kenyataan menunjukkan bahwa, penataan kawasan konservasi atau
kawasan lindung termasuk kawasan lainnya tentu menghadapi beragam persoalan
yang membutuhkan sikap dan ketegasan dari instansi yang berwenang, khususnya Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap
kelangsungan sejumlah kawasan yang ada. Mekanisme pembangunan melalui
perencanaan, pemanfataan dan pengendalian pemanfaatan ruang dan sumber daya
alam tentunya menuntut suatu konsistensi dalam implementasi kebijakan, rencana
dan program.
Salah satu masalah penting yang hingga saat
ini masih menjadi prioritas pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi/lindung
adalah, pola serta bentuk pengelolaan kawasan konservasi /lindung dan sumber
daya alam kita yang belum optimal dalam rangka peningkatan mutu serta kualitas
ekologi secara umum. Diketahui bahwa aspek pengelolaan kawasan menjadi bagian
yang sangat penting dalam upaya membangun konservasi, agar kelak dikemudian
hari dapat kita rasakan manfaatnya bagi ekosistem alam serta kehidupan manusia.
Dalam sistem
pengelolaan kawasan konservasi/lindung, ada 2 hal yang paling menonjol, yakni ;
Pertama, pelaku. Dalam hal ini adalah
pengelola kawasan yang mencakup pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat, terutama individu maupun kelompok yang
berada disekitar kawasan. Kedua,
bentuk pengelolaan, dalam hal ini merupakan rangkaian upaya yang terencana
untuk mengelola suatu kawasan agar dapat lebih dikembangkan dengan baik. Jika
kedua hal tersebut tidak dapat dijalankan dengan serius, maka keberlangsungan
masa depan kawasan patut untuk dikhawatirkan. Demikian halnya dengan
pembangunan di Provinsi Papua Barat yang menuntut adanya perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat memperhatikan semua
aspek lingkungan.
Provinsi Papua Barat yang
sebelumnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri sejak dibentuknya Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi
Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya,
dan Kota Sorong. Kebijakan tersebut didukung Surat Keputusan DPRD Provinsi
Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi Tiga Provinsi.
Setelah dipromulgasikan pada
tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran Provinsi
Papua menjadi tiga provinsi ditolak warga Papua di Jayapura melalui demonstrasi
akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi
ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Pada tahun 2002, atas permintaan
masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315, pemekaran Irian Jaya Barat
kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu,
Provinsi Irian Jaya Barat mulai membentuk dirinya menjadi sebuah provinsi
definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan sangat
besar dari Provinsi Papua sebagai induknya hingga ke Mahkamah Konstitusi
melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun
Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.
Kondisi pemerintahan
yang terhambat oleh situasi nasional tidak mengurangi niat masyarakat Papua
Barat untuk mencapai target yang direncanakan. Provinsi Irian Jaya Barat terus
membenahi diri dengan terus melengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di
sisi lain dasar hukum pembentukan provinsi ini telah dibatalkan. Setelah
memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota
DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki Gubernur
dan Wakil Gubernur definitif Abraham Octovianus Atururi
(Brigjen Marinir Purn.) dan Drs. Rahimin Katjong,
M.Ed (alm). yang dilantik pada tanggal 26 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih
dari 6 tahun sejak Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan dan
pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan
berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah. Sejak
tanggal 6 Februari 2007 Provinsi Irian Jaya Barat berubah nama menjadi Provinsi
Papua Barat.
Visi Provinsi Papua Barat adalah terwujudnya masyarakat Papua Barat yang
bersatu, berpendidikan dan berbudaya serta pemerintahan yang bersih dan
berwibawa guna mewujudkan ekonomi kerakyatan yang demokratis, adil, sejahtera
dan mandiri.
Misi
Provinsi Papua Barat dalam rangka mencapai Visi tersebut di atas adalah:
1.
Reorientasi paradigma
pembangunan: paradigma pembangunan mengacu pada pemberdayaan potensi
lokal dan institusi ekonomi rakyat
2.
Revitalisasi potensi SDM
dan SDA: semua potensi SDA dikelola dala prespektif untuk kemslahatan
masyarakat secara fungsional, akuntabilitas, dan transparan, yang ditunjang
oleh pengembangan kualitas SDM dengan komptensi-kompetensi sektoral.
3.
Reaktualisasi: budaya lokal menjadi
pendorong dan wahana proses pembangunan semua sektor, sehingga proses
pembangunan menjadi kontekstual
4.
Refungsionalisasi lembaga: pemberdayaan semua
lembaga pemerintah dalam masyarakat dalam semangat kewirausahaan yang
transparan dan akuntabilitas guna mendorong percepatan pembangunan yang
berbasis ekonomi kerakyatan
5.
Persatuan adalah persyaratan yang
diperlukan dalam proses pembangunan semua sektor. Keharmonisan kehidupan sosial
masyarakat Papua Barat selama ini harus terus dipertahankan dan dikembangkan
dengan memposisika semua komponen masyarakat dalam kebersamaan untuk berperan
serta dalam proses pembangunan. Persatuan juga dimaksud sebagai komitmen
masyarakat dan Pemerintah Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6. Perkembangan
Good Goverment, yaitu pemerintahan demokratis dan penegakkan supremasi hukum.
Implementasi Otonomi Daerah (Otda) pada tahun 2001
(sebagai realisasi dari UU No.22/1999) membuat Pemerintah Daerah
sibuk merencanakan dan membangun perekonomian daerah. Disadari ataupun tidak,
pengembangan daerah otonomi baru, ijin-ijin pemanfaatan sumber daya alam seperti hasil hutan kayu, perkebunan
kelapa sawit dan pertambangan telah berdampak pada eksistensi kawasan
konservasi dan lindung. Sejumlah perizinan diantaranya bahkan diperjualbelikan
dan dikuasai para cukong (pemilik modal), sementara masyarakat hanya memperoleh
bagian yang sangat kecil. Kegiatan tersebut bercampur dengan aktivitas
pencurian kayu (illegal logging) dan
perdagangan kayu secara liar (illegal
trading) yang semakin meluas. Otonomi Daerah dan desentralisasi yang
tadinya diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih tepat, ternyata
akibat keterbatasan tenaga dan sarana/prasarana di daerah justru pada beberapa
kegiatan menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang potensial. Oleh karenanya perlu pengelolaan secara baik, sehingga menjamin eksistensi lingkungan hidup beserta semua
komponen penyusunnya dimasa mendatang. Karena konservasi tidaklah bertentangan
dengan pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahkan sebaliknya
pembangunan tidak akan bisa berkelanjutan tanpa adanya pengelolaan secara baik
dalam mekanisme konservasi.
4.2.
Landasan Sosiologis
Proses
transisi politik pasca reformasi yang
berkepanjangan memunculkan berbagai ketidakpastian hukum yang mengakibatkan
sulitnya mengimplementasikan berbagai kebijakan lingkungan hidup secara
konsisten. Meskipun secara formal Pemerintah telah menegaskan komitmennya untuk
mengelola sumber daya alam secara lestari, tetapi situasi di lapangan tampaknya
jauh kondisi ideal. Peraturan yang tumpang tindih, konflik sosial yang
melibatkan berbagai elemen masyarakat, perencanaan pengelolaan lingkungan yang
tidak akurat, kurangnya koordinasi, serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme yang merata di semua strata, mengakibatkan realitas pengelolaan
lingkungan hidup makin menjauh dari komitmen normatif (pembangunan berwawasan
lingkungan).
Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak
adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat,
terutama yang berada di sekitar kawasan konservasi dan lindung adalah unsur
strategis dari pengelolaan konservasi. Karena itu pelibatan masyarakat sebagai
unsur penting dalam pengelolaan konservasi sangat penting. Kendala utama dalam
masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada
rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar
masyarakat dapat berperan secara lebih besar.
Dalam
rangka penyelenggaraan pembangunan berwawasan lingkungan yang aspiratif, pelaksanaan pembangunan harus bertumpu pada prinsip
manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Kegagalan pemerintah dalam memahami (dan memenuhi) aspirasi
masyarakat dapat memicu konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah
serta konflik horisontal antar elemen masyarakat yang (bisa) bermuara pada
anarki. Praktik pembangunan berasaskan keadilan dan pemerataan yang manipulatif
dan diskriminatif, melahirkan tuntutan paradigma pembangunan yang baru yakni
pembangunan yang adil dan proporsional. Bukan adil dan merata, karena konsep
pemerataan dirasakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat lokal. Oleh
karenanya, masyarakat lokal dan daerah penghasil selayaknya memperoleh
distribusi manfaat terbesar dari pengelolaan sumber daya alam. Artinya, perhatian
terhadap aspirasi lokal yang berkeadilan (seharusnya) menjadi dasar pijakan
pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan yang
proporsional dan partisipatif.
Provinsi Papua Barat yang memiliki potensi sumber daya
alam hayati baik flora, fauna dan ekosistem, sedang diperhadapkan dengan
permasalahan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Tingginya
potensi sumber daya alam tersebut, sedang diperhadapkan dengan peningkatan
pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dengan adanya investasi dalam bidang
kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Demikian halnya dengan pengembangan daerah
otonomi baru sebagai bagian dari pengembangan wilayah.
Pemahaman masyarakat terkait konservasi masih sangat
terbatas pada aspek perlindungan dan pengawetan sumber daya alam. Padahal
implementasi pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif konservasi
sesungguhnya mencakup aspek pemanfaatan. Hal ini dimaksudkan bahwa masyarakat
merupakan bagian dari unit pengelola yang berperan penting dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan konservasi. Kondisi tersebut mengakibatkan
partisipasi masyarakat dalam program konservasi sangat rendah, bahkan cenderung
tidak berpartsipasi. Kearifan lokal masyarakat atau bentuk-bentuk konservasi
tradisional yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan konservasi itu
sendiri tidak pernah digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sejalan dengan itu kemajuan pembangunan yang disertasi
peningkatan penduduk telah berdampak terhadap tuntutan penyediaan sumber daya
alam dan lahan. Tidak saja pada kawasan peruntukan sesuai fungsinya, namun
lebih dari itu kawasan konservasi atau lindung telah menjadi sasaran
pembangunan. Kondisi tersebut lebih signifikan lagi akibat keterbetasan sumber
daya manusia, aksesibilitas wilayah, sarana dan prasarana yang tidak memadai
dan pendanaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan Bab-Bab
sebelumnya diketahui bahwa Provinsi Papua Barat memiliki sumber daya alam yang
potensial, namun diperhadapkan ancaman terkait eksistensi sumber daya alam
akibat pembangunan. Disisi lain konservasi dalam perspektif hukum adat yang diharapkan
dapat mengoptimalkan konservasi yang ada sejauh ini belum dapat dielaborasi
sesuai kondisi dan potensi wilayah. Konservasi guna menunjang pembangunan
berkelanjutan dan peningkatan ekonomi harus lebih terarah sehingga dapat
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
4.3.
Landasan Yuridis
Landasan
yuridis pengelolaan sumber daya alam dalam konteks konservasi secara umum
diatur terutama dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk UU 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Perubahannya yang masing-masing
kebijakan tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan sejumlah Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri. Namun pengelolaan sumber daya alam secara khusus dalam perspektif konservasi dengan
ruang lingkup pemerintah daerah sejauh ini belum diatur. Oleh karenanya agar penyelenggaraan
pembangunan di Provinsi Papua Barat dapat dilakukan melalui prinsip pembangunan
berkelanjutan, maka harus diatur pengelolaan sumber daya alam dalam suatu
peraturan daerah yang khusus tentang Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi
Konservasi. Peraturan daerah dengan
spesifikasi seperti yang dijelaskan ini pada dasarnya belum ada dan mutlak
diperlukan guna mengoptimalkan prinsip pembangunan berkalanjutan, sehingga
perlu dibentuk.