Monday, 29 May 2017

Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi di Indonesia

Konservasi Papua Barat

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS


1.1.      Latar Belakang
1.1.1.      Wilayah Administrasi
Provinsi Papua Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan berdasarkan INPRES Nomor 1 Tahun 2003 bernama Irian Jaya Barat, kemudian sejak Tanggal 6 Februari 2007 berubah nama menjadi Papua Barat. Luas wilayah Provinsi Papua Barat mencapai 97.024,37 Km² (berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008). Pada awal pembentukannya, wilayah ini terdiri dari Kabupaten Manokwari, Fakfak, Sorong dan Kota Sorong. Seiring dengan perkembangan sosial, politik, dan ekonomi, dalam kurun waktu satu dekade provinsi ini mengalami pemekaran wilayah administrasi menjadi 12 kabupaten dan 1 kota.
Tabel 1.1. Wilayah Administrasi Provinsi Papua Barat
No
Kabupaten/Kota
Ibu Kota
Luas Wilayah (Km²)/(%)
Kecamatan
Desa
Kelurahan
1
Fakfak
Fakfak
11.036,48 (11,37)
9
118
5
2
Kaimana
Kaimana
16.241,84 (16,74)
7
84
2
3
Teluk Wondama
Rasiei
3.959,53 (4,08)
13
75
1
4
Teluk Bintuni
Bintuni
20.840,83 (21,48)
24
115
2
5
Manokwari
Manokwari
8.664,76 (8,93)
13
191
9
6
Sorong Selatan
Teminabuan
3.946,94 (4,07)
13
119
2
7
Sorong
Aimas
7.415,29 (7,64)
19
121
13
8
Raja Ampat
Waisai
8.034,44 (8,24)
24
117
4
9
Tambrauw
Sausapor
5.179,65 (5,34)
7
53
0
10
Maybrat
Kumurkek
5.461,69 (5,63)
11
108
1
11
Manokwari Selatan
Ransiki
2.812,44 (2,90)
6
55
0
12
Pegunungan Arfak
Anggi
2.773,74 (2,86)
10
166
0
13
Kota Sorong
Sorong
656,64 (0,68)
6
0
31
Papua Barat
97.024,27 (100)
162
1.322
70
Sumber: Papua Barat Dalam Angka, 2014
Secara geografis Provinsi Papua Barat terletak pada koordinat 0º,0” - 4º,0” Lintang Selatan (LS) dan 124º,0” - 132º,0” Bujur Timur (BT) dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut :
-      Utara      : Samudera Pasifik
-      Selatan   : Laut Banda dan Provinsi Maluku
-      Barat       : Laut Seram dan Provinsi Maluku
-      Timur      : Provinsi Papua
Sekitar 7,95% wilayah Provinsi Papua Barat merupakan wilayah pegunungan dan 18,73% merupakan wilayah lembah. Wilayah lain lebih dari separuhnya berada di daerah hamparan. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Papua Barat berbatasan dengan laut, dan hanya 37,04% desa yang berada di daerah pesisir, sedangkan 62,96% wilayah desa lainnya yang tidak berbatasan dengan laut (bukan pesisir).
1.1.2.      Potensi Sumber Daya Alam
Secara umum Papua Barat memiliki sumber daya alam yang dapat dikatakan sangat melimpah, baik sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan baik didarat maupun di perairan. Bahkan dapat dikatakan bahwa perekonomian Provinsi Papua Barat masih sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam atau masih mengandalkan ekonomi ekstraktif seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan dan peternakan.
1.    Bahan Tambang
Wilayah ini menyimpan kandungan berbagai jenis bahan tambang baik berupa minyak, gas bumi, mineral dan batubara yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten/kota. Secara geologis wilayah ini dimungkinkan adanya potensi mineral yang berlimpah. Penyebaran mineral tidak merata karena tidak meratanya penyebaran jenis batuan.
Berdasarkan peta peta geologi skala tinjau (1 : 250.000) diketahui bahwa Papua Barat memiliki potensi bahan tambang yang cukup besar walaupun secara kuantitatif informasi mineral tersebut belum diketahui secara pasti. Di wilayah Kepala Burung diduga terkandung sumber daya mineral berasal dari umur batuan tertier gas bumi dan batubara di cekungan Bintuni, kemudian emas di Aifat, Uranium di Manokwari, Minyak bumi di Sorong dan Raja Ampat.
2.    Hutan
Di sektor kehutanan, provinsi ini memiliki sumber daya hutan yang sangat strategis dengan beragam keanekaragaman hayati penting, bahkan beberapa spesies merupakan spesies endemik. Berdasarkan SK Menhut Nomor SK.783/Menhut-II/2014 luas kawasan hutan dan perairan di Provinsi Papua Barat sebesar 9.703.611,39 Ha dengan peruntukan fungsinya sebagai berikut :
Tabel 1.2. Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Papua Barat
No
Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
Persen
(%)
Keterangan
1
Kawasan Suaka Alam (KSA)
2.639.731,68
27,20
Seluas 928.350 Ha merupakan kawasan konservasi perairan yang terletak di Fakfak (16.093 Ha), Raja Ampat (188.221 Ha) dan Teluk Wondama (724.036 Ha) sesuai SK. Menhut No.SK.783/Menhut-II/2014, Tanggal 22 September 2014.
2
Hutan Lindung (HL)
1.627.679,16
16,77

3
Hutan Produksi (HP)
2.186.063,77
22,53

4
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
1.777.436,57
18,32

5
Hutan Produksi Konversi (HPK)
1.472.700,20
15,18

Jumlah
9.703.611,39
100,00

Sumber: SK Menhut No.783 Tahun 2014.
Berdasarkan data pada tabel di atas, terlihat bahwa proporsi total luas hutan produksi (HP, HPT dan HPK) sebesar  56,02 % dan sisanya sebesar 43,98% untuk kawasan perlindungan (KSA/KPA dan HL), sebagaiman terlihat pada Gambar 1.1.
Proporsi tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan untuk tujuan perlindungan masih berada di atas persentase yang disyaratkan, yaitu minimal 30%[1].  Secara fisiografi, kawasan hutan di Papua Barat memiliki kelerengan yang bervariasi dari datar sampai sangat curam, namun sekitar 65 % memiliki kelerengan dari curam-sangat curam dengan kemiringan di atas 25%.



[1] Distribusi persentase kawasan hutan fungsi perlindungan dengan kawasan hutan fungsi produksi untuk setiap kabupaten/kota tidak sama. Kabupaten Tambrauw, Pegunungan Arfak, Teluk Wondama dan Raja Ampat memiliki kawasan hutan dan perairan dengan fungsi perlindungan cukup signifikan. 

Hutan di Provinsi Papua Barat memiliki tipe ekosistem yang berbeda-beda dan unik karena adanya bentangan samudera dan laut di sekitarnya serta pengaruh jenis tanah (edafic) dan iklim akibat sejarah pembentukan Pulau Papua dan geologi masa lalu serta topografi yang ekstrim, sehingga mempengaruhi keanekaragaman jenis (biodiversity) dan habitatnya. Pengelompokkan tipe hutan yang terdapat di kawasan ini terdiri atas hutan/vegetasi pantai (coastal forest), hutan rawa (swamp forest), hutan bakau (mangrove forest), hutan batuan karang dan kapur (limestone & karstforest), hutan ultramafik (ultramafic forest), hutan dataran rendah (low land rainforest) dan hutan dataran tinggi/pegunungan (montane forest) serta vegetasi alpin. Disamping pengelompokan tersebut di atas sebagai kesatuan ekosistem utama, masih ada pengelompokan yang lebih spesifik berdasarkan komunitas tumbuhan (assosiasi/formasi) dengan jenis yang dominan sebagai penciri utama. Eksosistem hutan di wilayah Papua Barat menyimpan keanekaragaman flora dan fauna yang merupakan perpaduan unsur dari dua wilayah bioregion, yaitu Asia Tenggara dan Australia. Beragam manfaat telah diperoleh dari ekstraksi terhadap sumber daya hutan di Papua Barat baik untuk kepentingan negara maupun masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis data periode 2003 – 2009, diketahui bahwa tutupan lahan hutan di Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan persentase tutupan lahan hutan sebesar 6%, areal non hutan mengalami penurunan rata-rata sebesar 3.457 hektar per tahun atau 0,3% per tahun. Artinya peningkatan tutupan lahan hutan berbanding terbalik dengan luas areal non hutan, dimana luas tutupan hutan makin besar maka areal non hutan akan semakin kecil. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Papua Barat telah memberikan kontribusi tetapi masih relatif sangat kecil. Penambahan luas tutupan hutan tersebut bukan merupakan hasil rehabilitasi dan reboisasi, melainkan hasil suksesi alami.
Berdasarkan analisis data tutupan lahan (land cover) pada periode tersebut, diketahui bahwa sebesar 88% lahan hutan masih tergolong primer, dan sisanya sebesar 12% tergolong lahan sekunder, tanah terbuka dan Areal Penggunaan Lain (APL). Kondisi tersebut tentunya merupakan kebanggaan yang harus tetap dipertahankan. Namun di sisi lain desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk menuntut kebutuhan penggunaan lahan yang akan terus meningkat. Faktor inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengalokasikan lahan secara selektif dan bijaksana agar perubahan tutupan lahan dapat dikendalikan, sehingga proporsinya masih dapat menjamin kondisi ideal yang diharapkan.
Wilayah Provinsi Papua Barat juga memiliki kandungan lahan gambut yang cukup luas. Berdasarkan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wetlands International disebutkan bahwa lahan gambut di provinsi ini tahun 2000 – 2001 seluas 974.217 Ha (12,22%) dari luas lahan gambut di seluruh Pulau Papua dengan kandungan karbon tersimpan sebesar 318,11 juta ton C. Kandungan karbon tersimpan ini harus dijaga agar tidak teremisi ke udara melalui pengelolaan lahan-lahan gambut secara lestari. Sebaran lahan gambut di Papua Barat dominan terdapat di Sorong Selatan dan Kawasan Teluk Bintuni seperti terlihat pada gambar berikut.

1.   Pertanian dan Pangan Lokal
Selain bahan tambang dan sumber daya hutan, Papua Barat memiliki kekayaan dari sektor pertanian. Hamparan lahan pertanian yang tersebar di hampir seluruh wilayah mulai dari dataran hingga pegunungan, merupakan aset penting dan strategis. Sebagian besar penduduk (asli) sangat bergantung dari pemanfaatan lahan pertanian. Meski belum sepenuhnya mampu mewujudkan ketahanan pangan daerah, sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang menyediakan bahan pangan strategis bagi penduduk yang hidup di wilayah ini. Produksi pertanian yang dominan adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan keladi serta berbagai jenis sayuran. Sumber pangan lainnya yang sangat strategis dan tersedia secara alamiah adalah sagu. Hamparan hutan sagu alam di provinsi ini mencapai lebih dari 600.000 Ha yang tersebar di beberapa wilayah, sebagai berikut:
Tabel 1.3. Potensi dan Sebaran Sagu Alam di Papua Barat
Kabupaten
Kerapatan
APL
HL
HP
HPK
HPT
KSA/KPA
Total
Kaimana
Tinggi
685,37
4.484,36
40.774,65
9.998,54
9.123,44
77,52
65.143,88
Rendah

1.671,83

444,61
52,53

2.168,97
Jumlah

685,37
6.156,19
40.774,65
10.443,15
9.175,97
77,52
67.312,85
Sorong
Tinggi
182,08
417,33
8.838,34
66.747,11
813,58
615,51
77.614,05
Rendah


498,59
422,04

0,00
920,62
Jumlah

182,08
417,33
9.337,03
67.169,14
813,58
615,51
78.534,67
Sorong Selatan
Tinggi
1.323,56
59.594,48
58.451,74
109.063,21
17.378,24

244.487,66
Rendah

3.014,45

987,77
1.138,98

5.141,19
Jumlah

1.323,56
62.608,93
58.451,74
110.050,97
18.517,22

249.628,85
Teluk Bintuni
Tinggi

8.493,57
61.843,13
93.725,90
19.815,12
1.073,31
186.274,60
Rendah

4.754,35

4.696,71
4.117,44

13.568,49
Jumlah


13.247,92
61.843,13
98.422,61
23/932,56
1.073,31
199.843,09
Teluk Wondama
Tinggi



4.858,54
1.255,35
38,35
6.152,24
Jumlah




4.858,54
1.255,35
38,35
6.152,24
Total

2.191,02
82.430,36
170.406,55
290.944,41
53.694,67
1.804,69
601.471,69
Sumber: laboratorium GIS Fakultas Kehutanan UNIPA, 2005

Pada awalnya, potensi sagu alam hanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai bahan pangan keluarga. Namun seiring dengan tuntutan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, potensi sagu alam saat ini telah menjadi incaran bagi para pemilik modal. Beberapa perusahaan telah memperoleh hak konsesi pemanfaatan sagu alam untuk berbagai tujuan ekonomi. Selain potensi sagu, Papua Barat memiliki potensi pala  di beberapa kabupaten seperti di Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong Selatan dan Kaimana. Bahkan komoditas pala menjadi komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan bagi Kabupaten Fakfak dan Kaimana.
2.   Kelautan dan Perikanan
          Provinsi Papua Barat memiliki wilayah laut seluas 5.220.353,03 Km2 dengan garis pantai sepanjang 10.448,12 Km (Bakorsutanal dan hasil pengukuran GIS skala 1:250.000 tahun 2009 dari citra landsat 2000). Pada Tahun 2013 produksi perikanan laut/tangkap mencapai 108.211,80 ton. Tiga kabupaten penghasil terbesar yaitu Kabupaten Manokwari, Fakfak dan Sorong. Disepanjang Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) Papua terkenal akan keanekaragaman hayati, habitat-habitat terumbu karang dan populasi-populasi biota laut. Wilayah ini memiliki terumbu karang yang paling beragam di dunia dengan lebih dari 1.754 jenis ikan karang dan lebih dari 603 jenis karang, dimana termasuk yang mungkin dapat bertahan dari dampak negatif perubahan iklim. Teluk Cendrawasih memiliki taman laut terluas yang ada di Indonesia. Keunikan sejarah geologis dan oseanografisnya menyebabkan Teluk Cendrawasih mengalami proses isolasi yang berulang-ulang, sehingga menjadikannya sebagai pusat beragam spesies endemik. Abun merupakan lokasi terpenting di dunia sebagai tempat bertelurnya Penyu Belimbing terbesar yang masih tersisa di wilayah Pasifik, sedangkan Kaimana dikenal dengan hutan bakau dan keberadaan populasi kelompok mamalia laut yang terancam punah. Wilayah perairan juga menyediakan potensi pengembangan pariwisata bagi daerah ini.
Papua Barat terkenal dengan panorama keindahan alam yang eksotis. Sebagian besar panorama alam tersebut bahkan masih sangat alami dan belum terjamah komersialisasi pariwisata. Sebagian besar objek wisata belum terekspos sehingga belum banyak dikenal khalayak umum. Salah satu objek wisata yang mulai popular adalah wisata bawah laut Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah ini, kurang lebih ada 610 pulau dan hanya sekitar 35 pulau yang berpenghuni. Perairan Raja Ampat merupakan salah satu dari 10 perairan terbaik untuk diving site di dunia, bahkan diperkirakan menjadi urutan satu untuk kelengkapan dan keanekaragaman hayati flora dan fauna bawah laut saat ini.
Wisata alam lain yang menjadi andalan Papua Barat adalah Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) yang terletak di Kabupaten Teluk Wondama. Panjang garis pantainya 500 Km dengan luas daratan mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 Ha dengan rincian 80.000 Ha kawasan terumbu karang dan 12.400 Ha lautan. Ekowisata di kepala burung Pulau Papua terdapat Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) di Kabupaten Pegunungan Arfak, dengan luas sekitar 68.325 Ha dengan ketinggian mencapai 2.940 mdpl. Terdapat juga Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gita yang berada pada ketinggian 2000 mdpl. Belum lama ini di Pegunungan Arfak ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speleologi (ahli gua) Perancis di Kawasan Pegunungan Lina di Iranmeda, Distrik Didohu dengan kedalaman gua mencapai 2000 meter. Selanjutnya di bagian selatan kepala burung, di Kabupaten Kaimana terdapat wisata pantai dan laut Teluk Triton disamping keindahan panorama Senja di Kaimana.
1.1.1.Karakteristik Sosio-Ekologi
          Provinsi Papua Barat didiami oleh beragam etnis, baik etnis asli Papua, maupun bukan asli Papua. Jumlah penduduk dari waktu-ke waktu terus mengalami peningkatan, baik karena faktor kelahiran maupun perpindahan penduduk. Berdasarkan data hasil sensus 2010 disebutkan bahwa penduduk di Papua Barat berjumlah 760.422 jiwa dan pada tahun 2013 jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 828.923 jiwa. Mata pencaharian penduduk relatif beragam, namun sebagian besar (80%) masih menggantungkan penghidupannya dari pemanfaatan sumber daya alam seperti hutan, perikanan, pertanian dan peternakan.
Penduduk asli Papua sebagian besar hidup di wilayah kampung mulai dari pesisir hingga pegunungan yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan alam (sumber daya alam). Relasi sosio-ekologi tersebut telah berlangsung secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga melembaga. Oleh karenanya, disejumlah tempat dapat ditemukan pandangan atau filosofi yang berkaitan dengan sumber daya alam. Suku Kuri Pasai memandang bahwa sumber daya alam (lahan/hutan/laut) ibarat rahim sungai dan laut yang memberi kehidupan bagi manusia (Erari, 1999). Pandangan yang tidak berbeda juga dianut oleh masyarakat asli yang mendiami wilayah Pegunungan Arfak, dimana mereka memiliki pandangan bahwa sumber daya alam ibarat ibu kandung yang memberi air susu kepada anaknya. Pandangan tersebut dalam prakteknya teraktualisasi ke dalam pengelolaan sumber daya alam, dimana prinsip-prinsip pemanfaatan yang dapat menjamin siklus keberlanjutan diterapkan. Filosofi tersebut menegaskan bahwa sumber daya alam (tanah, hutan, laut, sungai) diyakini oleh masyarakat adat sebagai milik mereka secara komunal. Rasa memiliki atas sumber daya alam dan pandangan/filosofi tersebut tentunya mengandung implikasi bahwa masyarakat adat berhak untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar, begitu juga sebaliknya pada waktu yang bersamaan melekat tanggungjawab untuk melestarikannya agar dapat menjamin keberlangsungan hidupnya.
Perwujudan filosofi masyarakat adat atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam kehidupan sehari-hari memiliki istilah atau sebutan berbeda-beda. Bagi masyarakat di Raja Ampat dikenal istilah sasi.  Sasi merupakan suatu larangan yang berhubungan dengan tradisi atau adat istiadat Misool. Sasi dilakukan oleh masyarakat adat yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendiami sebagian besar pesisir pulau-pulau di Misool. Sasi diibaratkan sebagai sebuah tabungan, dimana kita bisa menabung dan mengambil tabungan kita kapan saja.  Sasipun demikian, dimana kita dapat menutup suatu wilayah untuk memberi waktu kepada jenis biota yang di sasi itu berkembang dan membukanya jika jenis biota yang telah disasi tersebut sudah melimpah. Sasi itu dilakukan pada tempat-tempat yang telah disepakati bersama oleh tokoh-tokoh dan masyarakat di wilayah tersebut. Sasi dibuat untuk membatasi pengambilan dan memberikan kesempatan kepada biota-biota yang hidup diwilayah sasi untuk berkembang biak. Proses pembuatan sasi dilakukan dengan upacara adat, seperti pemasangan “Samsom” atau yang dikenal dengan sebutan “siri pinang” yang dipimpin langsung oleh ketua adat bersama dengan masyarakat adat yang ada diwilayah itu. Sasi dilakukan sejak dulu sampai saat ini, karena dengan adanya kegiatan sasi, bisa memberikan hasil yang memuaskan dan menjamin kebutuhan ekonomi masyarakat secara terus-menerus.
Selain sasi ada pula istilah Igya Ser Hanjob yang dikenal di wilayah Pegunungan Arfak. Dalam aturan adat yang berlaku pada masyarakat di Pegunungan Arfak, terdapat bentuk pengelolaan hutan yang dikenal dengan nama Igya ser hanjob (dalam bahasa Hatam/Moule) atau Mastogow hanjob (dalam bahasa Soughb). Igya dalam bahasa hatam berarti berdiri, ser artinya menjaga dan hanjob berarti batas. Secara harfiah Igya serhanjob mengandung makna berdiri menjaga batas, namun batas disini bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, namun secara luas bermakna mencakup segala aspek kehidupan masyarakat di Pegunungan Arfak.
Pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat di Provinsi Papua Barat pada dasarnya masih tergolong subsisten, dimana proporsi terbesar hasilnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Teknik pemanfaatan lahan ataupun teknik penangkapan hasil-hasil perikanan masih sangat tradisional dengan peralatan sederhana. Meskipun demikian, disadari bahwa seiring dengan perkembangan wilayah dan semakin terbukanya aksesibilitas daerah, bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan dasar masyarakat dan derasnya arus “modal” masuk, diyakini berpengaruh terhadap konsistensi penerapan pandangan/filosofi tersebut dalam pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karenanya, pengetahuan tradisional perlu dijaga dari ancaman degradasi, sehingga kelestariannya dapat dipertahankan sebagai modal sosial untuk membangun provinsi ini.

1.1.2.   Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Sumber daya alam yang ada di wilayah Papua Barat merupakan modal/aset strategis bagi pembangunan daerah yang harus dikelola secara bijak. Dari sisi pemanfaatan saat ini, sebagian besar potensi sumber daya alam telah di “kapling-kapling” untuk berbagai kepentingan.
a.     Hutan
Pada sektor kehutanan, dari total luas hutan produksi (HP, HPT dan HPK) sebesar 5.436.200,54 Ha, telah dieksploitasi potensi berbagai jenis kayu komersialnya oleh pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA). Pada Tahun 2005, terdapat 27 perusahaan IUPHHK-HA (23 perusahaan aktif) yang beroperasi di Papua Barat, dengan luas 4,560,000 Ha atau mencakup areal seluas 83,88% dari total luas hutan produksi. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan dengan Peraturan Gubernur Papua Barat yang berkaitan dengan peredaran hasil hutan kayu dalam rangka penghentian peredaran kayu bulat keluar Papua Barat secara bertahap dan untuk memacu pertumbuhan industri pengolahan, saat ini jumlah pemegang IUPHHK-HA mengalami penurunan.
Pada Tahun 2015, pemegang IUPHHK-HA yang masih aktif tercatat sebanyak 20 IUPHHK-HA dan 1 IUPHHK-HTI dengan luas areal konsesi seluas 2.980.955 Ha atau 54,84 % dari total luas hutan produksi. Namun demikian, dari luas areal konsesi tersebut hingga saat ini belum ada 1 (satu) konsesi pemanfaatan hutan di dalam kawasan hutan yang telah dikelola oleh masyarakat adat. Sejumlah inisiatif dan upaya untuk mendorong pengelolaan hutan oleh masyarakat adat telah dan sedang dilakukan oleh beberapa LSM dan masih dalam tahap memperoleh SK Pencadangan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa yaitu di Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana dan Distrik Manggroholo, Kabupaten Sorong Selatan. Sebaran dan luas konsesi IUPHHK-HA di Provinsi Papua Barat sampai Maret 2015 sebagai berikut :


Tabel 1.4. Sebaran dan Luas Konsesi IUPHHK-HA di Papua Barat Tahun
No
Kabupaten
Perusahaan
Luas
(Ha)
Kategori
Keterangan
I
IUPHHK-HA



Fakfak
PT. Arfak Indra
    177.900
Aktif
Sorong
PT. Mancaraya Agro Mandiri
      97.820
Aktif
Manokwari
PT. Megapura Mamberamo Bangun
      55.100
Aktif
Sorong Selatan
PT. Bangun Kayu Irian
    139.970
Aktif
Kaimana
PT. Hanurata
    234.470
Aktif
PT. Irmasulindo
    174.540
Aktif
PT. Kaltim Hutama
    161.670
Aktif
PT. Wana Kayu Hasilindo
      84.000
Aktif
PT. Asco Prima Nusantara
    171.270
Aktif
Teluk Bintuni
PT. Manokwari Mandiri Lestari
      90.980
Aktif
PT. Bintuni Utama Murni Wood
      82.120
Aktif
PHPL
PT. Yotefa Sarana Timber
    123.565
Aktif
PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya
    237.750
Aktif
PT. Wukirasari
    116.320
Aktif
PT. Papua Satya Kencana
    195.420
Aktif
PHPL
Teluk Wondama
PT. Karunia Tama Sejahtera
    115.800
Aktif
PHPL
PT. Wapoga Mutiara Timber
    299.925
Aktif
PT. Wijaya Sentosa
   130.755
Aktif
PHPL
Tambrauw
PT.Multi Wahana Wijaya
    107.740
Aktif
Maybrat
PT. Mitra Pembangunan Global
      83.950
Aktif

 2.881.065
B
IUPHHK-HTI


 Teluk Bintuni
PT. Kesatuan Mas Abadi
      99.890
Aktif
Jumlah
2.980.955
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, 2015.
b.     Perkebunan
Sektor lain yang mendominasi pemanfaatan sumber daya lahan adalah perkebunan. Hingga periode Agustus 2015 ada 30 perusahaan perkebunan (sebagian besar perkebunan kelapa sawit) yang telah, sedang dan akan mengembangkan komoditi perkebunan monokultur. Kawasan hutan yang dicadangkan untuk investasi pada sektor ini mencapai 631.111 Ha dan dari luasan pencadangan tersebut, seluas 401.537,44 Ha telah dilepaskan dari kawasan hutan dengan areal konsesi seluas ± 523.741,00 Ha yang tersebar di Kabupaten Manokwari, Tambrauw, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama dan Teluk Bintuni. Sebanyak 7 perusahaan telah beroperasi dan 14 perusahaan masih dalam tahap persetujuan prinsip dan pelepasan kawasan hutan.

c.     Pertambangan
Pertambangan minyak, gas bumi, mineral dan batubara juga potensial terjadi di Papua Barat baik yang masih dalam tahap eksplorasi maupun sudah dalam tahap eksploitasi/produksi. Perusahaan tambang yang sudah beroperasi/berproduksi adalah LNG Tangguh di Teluk Bintuni dan Petro China International di Sorong. Perusahaan lain yang masih dalam tahap eksplorasi tercatat sebanyak 14 perusahaan sektor migas dan 2 perusahaan sektor batubara.
Tabel 1.5. Persetujuan Izin Kegiatan Eksplorasi Tambang di Papua Barat Periode s/d Juli 2015.
No
Perusahaan
Luas
(Ha)
Fungsi Kawasan Hutan
Masa Berlaku
Keterangan
HL
HPT
HP
HPK
1
Genting Oil Kasuri. Pte.Ltd
168,22
168,22
Jul-12
Migas
2
Petro China International (Bagong#2 &SWO#12)
8,16
8,16
Sep-13
Migas
3
Petro China International (North Arar#2) perpanjangan
4,00
4,00
Sep-15
Migas
4
Petro China International (North Walio#1& Payao#1)
9,30
9,30
Okt-13
Migas
5
Petro China International Klalin #1
4,10
4,10
Feb-14
Migas
6
Petro China International (Klafajar #1, South East Jaya#1&Klabaru#1)
14.176,00
14.176,00
Agust-14
Migas
7
Genting Oil kasuri. Pte.Ltd
168,22
168,22
Okt-14
Migas
8
JOB Pertamina-Petrochina Salawati
13,45
Apr-15
Migas
9
Petro China international (Klari#2, Walio Extension#1)
8,33
8,33
10
PT. MontD"Or (Baladewa-1, East Baladewa-1, BLLF, BLL-B2, BLL-C
39,50
Mei-15
Migas
11
PT. Bintuni Barindo Persada
8.645,00
Mei-15
Batubara
12
Petro China International (Klaimas#1, North Klalin#2,North Klalin#3)
16,71
16,71
Nop-15
Migas
13
PT. Bara Bumi Semesta
8.810,00
3.865,49
4.944,51
Agust-15
Batubara
14
Eni Arguni I Ltd
13.218,37
Feb-16
Migas
15
Genting Oil Kasuri. Pte.Ltd (perpanjangan ke-2)
229,11
92,04
50,59
86,48
Apr-16
Migas
16
Krisenergy (Udan Emas)
33,36
Mei-16
Migas
Jumlah
45.551,83
-
3.957,53
5.003,26
14.641,36

d.   Pertanian
Sektor lain yang juga sangat strategis bagi wilayah ini adalah pertanian. Lahan pertanian umumnya berupa lahan sawah menetap dan kebun berpindah-pindah. Sawah lahan basah merupakan penghasil padi yang dominasi pengusahaannya oleh penduduk transmigrasi, sedangkan kebun berpindah-pindah (rotasi) umumnya diusahakan oleh masyarakat asli Papua. Pada Tahun 2012/2013 luas panen beberapa komoditi pertanian tanaman pangan tercatat sebagai berikut :
a)   Padi Sawah    : 6.794 Ha        
b)   Padi Ladang   : 729 Ha
c)    Jagung           : 1.250 Ha
d)   Ubi Kayu        : 1.082 Ha
e)    Ubi Jalar        : 1.343 Ha
e.    Kelautan dan Perikanan
Papua Barat memiliki wilayah laut dan perairan yang sangat luas dengan beragam potensi didalamnya. Selain berbagai keanekaragaman hayati laut, perairan di wiayah ini juga mengandung potensi minyak dan gas bumi. Pada dasarnya wilayah perairan telah diatur ke dalam dua fungsi utama yaitu wilayah perlindungan/konservasi dan wilayah pemanfaatan. Wilayah perlindungan/konservasi perairan yang terdapat di Papua Barat adalah sebagai berikut :
Kabupaten Kaimana
Di wilayah ini terdapat seluas 514.285 Ha Kawasan Konservasi Perairan/Laut Daerah  (KKPD Kaimana) yang telah ditetapkan melalui PERDA Nomor 11/2014 dengan rincian sebagai berikut:
a)    Wilayah Buraway seluas 240,493 Ha
b)   Wilayah Kaimana seluas 122,586 Ha
c)    Wilayah Etna / Yamor 115,481 Ha
d)   Wilayah Arguni seluas 35,726 Ha
Kabupaten Raja Ampat
Di wilayah ini terdapat seluas 1.242.570 Ha Kawasan Konservasi Kelautan Daerah (KKPD Raja Ampat) yang ditetapkan melalui PERDA No. 27/2008). Kewenangan manajemen untuk jaringan ini KKL (UPTD / BLUD KKPD Raja Ampat) secara resmi didirikan dengan Keputusan Bupati No.7 / 2011. KKPD Raja Ampat terdiri dari 'pengelolaan kawasan' berikut:
a.     KKPD Ayau / Asia seluas 101.440 Ha
b.     KKPD Dampier seluas 303.200 Ha
c.     KKPD Kofiau seluas 170.000 Ha
d.     KKPD Misool seluas 343.200 Ha
e.     KKPD Teluk Mayalibit seluas 53.100 Ha
f.      KKPN Kepuluan Waigeo Sebelah Barat seluas2 71.630 Ha (KepMen No.65 / 2009)
Kabupaten Tambrauw
Di wilayah ini terdapat seluas 194.988 Ha Kawasan Konservasi Perairan  Daerah Tambrauw ("KKPD Tambrau") yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati Nomor 46 tahun 2013. Wilayah perlindungan ini ditujukan untuk melindungi penyu belimbing terutama habitat pantai untuk bersarang.
Kabupaten Teluk Wondama
Di wilayah ini terdapat Taman Nasional Teluk Cenderawasih seluas 1.453.000 Ha. Di kawasan tersebut terdapat beragam jenis ikan dan terumbu karang yang bernilai penting dan strategis. Pengelolaan taman nasional tersebut dibawah tanggungjawab Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Diluar kawasan-kawasan perlindungan/konservasi tersebut merupakan wilayah pemanfaatan intensif yang banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar/korporasi.
1.1.3.   Ancaman Kelestarian Sumber Daya Alam
          Potensi sumber daya alam yang ada di Provinsi Papua Barat merupakan modal dasar pembangunan jangka panjang yang sangat strategis. Seiring dengan perkembangan wilayah, kebutuhan akan sumber daya alam terus mengalami peningkatan untuk berbagai kepentingan. Pertambahan jumlah penduduk, pemekaran wilayah mulai dari tingkat kampung, distrik dan kabupaten berimplikasi terhadap semakin tingginya tekanan terhadap keberadaan lahan, hutan dan wilayah perairan. Sementara itu pada sisi lainnya, tuntutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah saat ini masih dominan mengandalkan peran investor/pemilik modal melalui pemberian ijin/konsesi wilayah tambang, perkebunan dan IUPHHK. Tekanan terhadap sumber daya alam juga disebabkan karena kebutuhan lahan dan atau wilayah tangkap masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  Analisis data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Papua Barat belum sepenuhnya mampu menjamin aspek kelestarian/keberlanjutan. Proses perencanaan masih sangat sektoral dan belum terintegrasi dengan baik, masih terjadi tumpang-tindih pemanfaatan hutan/lahan dan perairan antar sektor, konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin/konsesi korporasi masih cukup tinggi. Rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pemanfaatan sumber daya alam juga menjadi ancaman serius. Ketidakadilan akses atas sumber daya alam merupakan pemicu konflik pengelolaan sumber daya alam yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap kerusakan. Adanya pembalakan liar serta kegiatan alih fungsi hutan (deforestasi) telah mengakibatkan sejumlah hutan di Papua Barat mengalami degradasi. Beberapa ancaman serius terhadap kelestarian sumber daya alam sebagai modal pembangunan diantaranya adalah seagai berikut :
a.        Deforestasi
Pada periode Tahun 2005-2009 telah terjadi kerusakan hutan yang sangat besar di Papua Barat yaitu seluas 1.017.842 Ha atau rata-rata sekitar 254.460 Ha per tahun atau sekitar 25% dari laju deforestasi nasional pada periode yang sama. Selanjutnya berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan RI pada kurun 2012 – 2013 terjadi deforestasi seluas 10.620,2 Ha dan jumlah lahan kritis pada Tahun 2013 mencapai 487.343 Ha dengan tingkat kekritisan kritis 410.601 Ha dan sangat kritis 76.742 Ha. Deforestasi tersebut disebabkan karena adanya alih fungsi kawasan hutan yang direncanakan maupun karena aktivitas yang ilegal.
b.        Konflik Sosial
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap rencana dan aktivitas investasi di Papua Barat menimbulkan konflik sosial, terutama dengan masyarakat pemilik hak ulayat. Sebagian besar konflik disebabkan karena pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pengambilan keputusan sebelum investasi dilaksanakan tidak cukup transparan dan akuntable. Konflik juga terjadi saat perusahaan sedang beroperasi, karena kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun tidak dapat dipenuhi.
c.        Ketimpangan Akses
Ketimpangan akses dalam pengelolaan sumber daya alam yang paling menonjol terjadi pada sektor kehutanan, dimana dari 2,9 juta Ha kawasan hutan yang dieksploitasi, seluruhnya merupakan konsesi yang diberikan kepada korporasi. Sementara disisi lainnya, masyarakat tidak difasilitasi dengan memadai untuk memperoleh hak konsesi dalam kawasan hutan.
Sejauh ini masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat atas hutan hanya diberikan hak untuk memungut dengan ketentuan yang tidak cukup adil. Di sisi lain sejauh belum ada upaya secara nyata yang dilakukan terkait penataan wilayah adat.
d.        Pembalakan Liar
Meski kasus pembalakan liar mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir ini, namun praktek pembalakan liar ditingkat tapak masih ditemukan. Lemahnya penegakan hukum, pengawasan dilapangan dan ketidak-adilan atas akses legal yang diberikan mengakibatkan masih terjadi illegal logging. Ijin pemungutan kayu yang diberikan kepada masyarakat yang seharusnya tidak dapat diperdagangkan, namun dalam kenyataannya dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek kelestarian hutan.
e.        Bencana Ekologi
Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menerapkan prinsip-prinsip kelestarian mengakibatkan ancaman bencana yang mulai intensif terjadi pada sejumlah wilayah di Papua Barat. Ancaman yang dimulai dari bencana yang sifatnya seperti banjir bandang yang melanda sejumlah tempat ketika musim hujan. Banjir bandang di Wasior, Sorong dan Manokwari yang terjadi beberapa waktu lalu dan mengakibatkan sejumlah kerugian, ditengarai salah satu penyebabnya adalah akibat pembukaan vegetasi hutan pada wilayah-wilayah resapan air. Demikian halnya dengan bencana alam yang bersifat situasional (temporer) akibat aktivitas manusia maupun alam.  
f.         Angka Kemiskinan Yang masih Tinggi
Meskipun Papua Barat dikarunia kekayaan alam yang sangat melimpah, namun tidak serta merta penduduk yang hidup diwilayah ini menikmati dengan baik kekayaan tersebut. Angka kemiskinan diwilayah ini masih tergolong cukup tinggi, meski secara perlahan-lahan mengalami perubahan/penurunan. Pada tahun 2010, angka kemiskinan sebesar 34,88 % dan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 26,67 %. Angka kemiskinan yang masih tinggi tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan belum optimal dan belum sebesar-besarnya dapat mensejahterakan masyarakat. Padahal 80% penduduk di wilayah Papua Barat penghiduannya masih bergantung terhadap sumber daya alam. Akses legal yang belum adil dan rendahnya kapasitas dalam pemberdayaan masyarakat merupakan hal-hal penyebab terjadinya kondisi ini. 
1.1.4.   Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
Provinsi Papua Barat dengan potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, maka konsekwensinya adalah bahwa penduduk diwilayah ini harus hidup dalam tingkat yang sejahtera. Sekitar 80% penduduk yang hidup di wilayah ini menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya alam. Keberadaan sumber daya alam menjadi bagian bahkan menyatu secara budaya, religi dan cara pandang hidup (the way of life) yang mentradisi secara turun temurun.
Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, tidak menerapkan prinsip-prinsip kelestarian dan hanya berorientasi manfaat ekonomi semata diyakini akan berdampak terhadap rusaknya sumber daya alam yang dalam jangka panjang akan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Sumber daya alam baik di darat maupun di perairan merupakan satu kesatuan eko-region yang saling mempengaruhi. Oleh karenanya, pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah ini harus dilakukan secara bijak, hati-hati dan dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Untuk mewujudkan kondisi tersebut dan agar proses penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam dapat lestari sebagai modal pembangunan daerah, maka perlu diatur dalam kerangka Peraturan Daerah Khusus tentang Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi.
1.2.      Identifikasi Masalah
Melimpahnya sumber daya alam sebagai modal pembangunan daerah jangka panjang yang dimiliki Provinsi Papua Barat ternyata tidak serta merta dapat mensejahterakan penduduk di wilayah ini, terutama Orang Asli Papua. Sebagian besar penduduk hidup diwilayah yang masih jauh dari pusat pemerintahan dengan aksesibilitas yang sangat terbatas. Angka kemiskinan masih tinggi, akses terhadap pangan, air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan layanan dasar lainnya masih jauh dari harapan.
Analisis terhadap berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa ketimpangan akses legal dan lemahnya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai modal pembangunan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi tersebut. Selain itu penyelenggaraan pembangunan yang belum sepenuhnya secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan berdampak terhadap kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Agar sumber daya alam (sebagai modal alam jangka panjang) yang dimiliki Provinsi Papua Barat ini dapat dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk (utamanya Orang Asli Papua), maka beberapa permasalahan dibawah ini perlu ditangani secara sungguh-sungguh yaitu :
a.    Bagaimana caranya agar pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Papua Barat dikelola secara adil dan berkelanjutan untuk mewujudkan tercapainya kesejahteraan penduduk secara terus-menerus berlandaskan pijakan hukum.
b.   Bagaimana caranya agar penyelenggaraan pembangunan di Provinsi Papua Barat dan investasi dapat dilakukan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan hidup.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah ini disusun agar digunakan dalam pembuatan dan penetapan pijakan hukum terkait dalam upaya untuk memecahkan permasalahan dimaksud.



LANDSAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

4.1.      Landasan Filosofis
Konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia adalah salah satu bentuk perlindungan ekosistem alam dan lingkungan yang masih menjadi salah satu prioritas penting bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk terus berupaya meningkatkan pola atau sistem pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berbasis ekologis. Konservasi sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan konservasi adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam hayati ini, telah menjadi bagian dari skema umum kebijakan pemerintah di bidang alam dan lingkungan yang diharapkan dapat menjaga ekosistem di masa mendatang.
Kenyataan menunjukkan bahwa, penataan kawasan konservasi atau kawasan lindung termasuk kawasan lainnya tentu menghadapi beragam persoalan yang membutuhkan sikap dan ketegasan dari instansi yang berwenang, khususnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan sejumlah kawasan yang ada. Mekanisme pembangunan melalui perencanaan, pemanfataan dan pengendalian pemanfaatan ruang dan sumber daya alam tentunya menuntut suatu konsistensi dalam implementasi kebijakan, rencana dan program.
Salah satu masalah penting yang hingga saat ini masih menjadi prioritas pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi/lindung adalah, pola serta bentuk pengelolaan kawasan konservasi /lindung dan sumber daya alam kita yang belum optimal dalam rangka peningkatan mutu serta kualitas ekologi secara umum. Diketahui bahwa aspek pengelolaan kawasan menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya membangun konservasi, agar kelak dikemudian hari dapat kita rasakan manfaatnya bagi ekosistem alam serta kehidupan manusia. Dalam sistem pengelolaan kawasan konservasi/lindung, ada 2 hal yang paling menonjol, yakni ; Pertama, pelaku. Dalam hal ini adalah pengelola kawasan yang mencakup pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat, terutama individu maupun kelompok yang berada disekitar kawasan. Kedua, bentuk pengelolaan, dalam hal ini merupakan rangkaian upaya yang terencana untuk mengelola suatu kawasan agar dapat lebih dikembangkan dengan baik. Jika kedua hal tersebut tidak dapat dijalankan dengan serius, maka keberlangsungan masa depan kawasan patut untuk dikhawatirkan. Demikian halnya dengan pembangunan di Provinsi Papua Barat yang menuntut adanya perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat memperhatikan semua aspek lingkungan.  
Provinsi Papua Barat yang sebelumnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan tersebut didukung Surat Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi Tiga Provinsi.
          Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi ditolak warga Papua di Jayapura melalui demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.  Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat mulai membentuk dirinya menjadi sebuah provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan sangat besar dari Provinsi Papua sebagai induknya hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.
          Kondisi pemerintahan yang terhambat oleh situasi nasional tidak mengurangi niat masyarakat Papua Barat untuk mencapai target yang direncanakan. Provinsi Irian Jaya Barat terus membenahi diri dengan terus melengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain dasar hukum pembentukan provinsi ini telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur definitif Abraham Octovianus Atururi (Brigjen Marinir Purn.) dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed (alm). yang dilantik pada tanggal 26 Juli 2006.  Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah. Sejak tanggal 6 Februari 2007 Provinsi Irian Jaya Barat berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat.
          Visi Provinsi Papua Barat adalah terwujudnya masyarakat Papua Barat yang bersatu, berpendidikan dan berbudaya serta pemerintahan yang bersih dan berwibawa guna mewujudkan ekonomi kerakyatan yang demokratis, adil, sejahtera dan mandiri.
          Misi Provinsi Papua Barat dalam rangka mencapai Visi tersebut di atas adalah:
1.   Reorientasi paradigma pembangunan: paradigma pembangunan mengacu pada pemberdayaan potensi lokal dan institusi ekonomi rakyat
2.   Revitalisasi potensi SDM dan SDA: semua potensi SDA dikelola dala prespektif untuk kemslahatan masyarakat secara fungsional, akuntabilitas, dan transparan, yang ditunjang oleh pengembangan kualitas SDM dengan komptensi-kompetensi sektoral.
3.   Reaktualisasi: budaya lokal menjadi pendorong dan wahana proses pembangunan semua sektor, sehingga proses pembangunan menjadi kontekstual
4.   Refungsionalisasi lembaga: pemberdayaan semua lembaga pemerintah dalam masyarakat dalam semangat kewirausahaan yang transparan dan akuntabilitas guna mendorong percepatan pembangunan yang berbasis ekonomi kerakyatan
5.   Persatuan adalah persyaratan yang diperlukan dalam proses pembangunan semua sektor. Keharmonisan kehidupan sosial masyarakat Papua Barat selama ini harus terus dipertahankan dan dikembangkan dengan memposisika semua komponen masyarakat dalam kebersamaan untuk berperan serta dalam proses pembangunan. Persatuan juga dimaksud sebagai komitmen masyarakat dan Pemerintah Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.   Perkembangan Good Goverment, yaitu pemerintahan demokratis dan penegakkan supremasi hukum.
Implementasi Otonomi Daerah (Otda) pada tahun 2001 (sebagai realisasi dari UU No.22/1999) membuat Pemerintah Daerah sibuk merencanakan dan membangun perekonomian daerah. Disadari ataupun tidak, pengembangan daerah otonomi baru, ijin-ijin pemanfaatan sumber daya alam seperti hasil hutan kayu, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan telah berdampak pada eksistensi kawasan konservasi dan lindung. Sejumlah perizinan diantaranya bahkan diperjualbelikan dan dikuasai para cukong (pemilik modal), sementara masyarakat hanya memperoleh bagian yang sangat kecil. Kegiatan tersebut bercampur dengan aktivitas pencurian kayu (illegal logging) dan perdagangan kayu secara liar (illegal trading) yang semakin meluas. Otonomi Daerah dan desentralisasi yang tadinya diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih tepat, ternyata akibat keterbatasan tenaga dan sarana/prasarana di daerah justru pada beberapa kegiatan menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang potensial. Oleh karenanya perlu pengelolaan secara baik, sehingga menjamin eksistensi lingkungan hidup beserta semua komponen penyusunnya dimasa mendatang. Karena konservasi tidaklah bertentangan dengan pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahkan sebaliknya pembangunan tidak akan bisa berkelanjutan tanpa adanya pengelolaan secara baik dalam mekanisme konservasi.
4.2.      Landasan Sosiologis
Proses transisi politik pasca reformasi yang berkepanjangan memunculkan berbagai ketidakpastian hukum yang mengakibatkan sulitnya mengimplementasikan berbagai kebijakan lingkungan hidup secara konsisten. Meskipun secara formal Pemerintah telah menegaskan komitmennya untuk mengelola sumber daya alam secara lestari, tetapi situasi di lapangan tampaknya jauh kondisi ideal. Peraturan yang tumpang tindih, konflik sosial yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, perencanaan pengelolaan lingkungan yang tidak akurat, kurangnya koordinasi, serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang merata di semua strata, mengakibatkan realitas pengelolaan lingkungan hidup makin menjauh dari komitmen normatif (pembangunan berwawasan lingkungan).
Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan konservasi dan lindung adalah unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Karena itu pelibatan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan konservasi sangat penting. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar.
Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan berwawasan lingkungan yang aspiratif, pelaksanaan pembangunan harus bertumpu pada prinsip manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Kegagalan pemerintah dalam memahami (dan memenuhi) aspirasi masyarakat dapat memicu konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah serta konflik horisontal antar elemen masyarakat yang (bisa) bermuara pada anarki. Praktik pembangunan berasaskan keadilan dan pemerataan yang manipulatif dan diskriminatif, melahirkan tuntutan paradigma pembangunan yang baru yakni pembangunan yang adil dan proporsional. Bukan adil dan merata, karena konsep pemerataan dirasakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat lokal. Oleh karenanya, masyarakat lokal dan daerah penghasil selayaknya memperoleh distribusi manfaat terbesar dari pengelolaan sumber daya alam. Artinya, perhatian terhadap aspirasi lokal yang berkeadilan (seharusnya) menjadi dasar pijakan pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan yang proporsional dan partisipatif.
Provinsi Papua Barat yang memiliki potensi sumber daya alam hayati baik flora, fauna dan ekosistem, sedang diperhadapkan dengan permasalahan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Tingginya potensi sumber daya alam tersebut, sedang diperhadapkan dengan peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dengan adanya investasi dalam bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Demikian halnya dengan pengembangan daerah otonomi baru sebagai bagian dari pengembangan wilayah.
Pemahaman masyarakat terkait konservasi masih sangat terbatas pada aspek perlindungan dan pengawetan sumber daya alam. Padahal implementasi pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif konservasi sesungguhnya mencakup aspek pemanfaatan. Hal ini dimaksudkan bahwa masyarakat merupakan bagian dari unit pengelola yang berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan konservasi. Kondisi tersebut mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam program konservasi sangat rendah, bahkan cenderung tidak berpartsipasi. Kearifan lokal masyarakat atau bentuk-bentuk konservasi tradisional yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan konservasi itu sendiri tidak pernah digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sejalan dengan itu kemajuan pembangunan yang disertasi peningkatan penduduk telah berdampak terhadap tuntutan penyediaan sumber daya alam dan lahan. Tidak saja pada kawasan peruntukan sesuai fungsinya, namun lebih dari itu kawasan konservasi atau lindung telah menjadi sasaran pembangunan. Kondisi tersebut lebih signifikan lagi akibat keterbetasan sumber daya manusia, aksesibilitas wilayah, sarana dan prasarana yang tidak memadai dan pendanaan.   
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan Bab-Bab sebelumnya diketahui bahwa Provinsi Papua Barat memiliki sumber daya alam yang potensial, namun diperhadapkan ancaman terkait eksistensi sumber daya alam akibat pembangunan. Disisi lain konservasi dalam perspektif hukum adat yang diharapkan dapat mengoptimalkan konservasi yang ada sejauh ini belum dapat dielaborasi sesuai kondisi dan potensi wilayah. Konservasi guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan peningkatan ekonomi harus lebih terarah sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.       
4.3.      Landasan Yuridis
Landasan yuridis pengelolaan sumber daya alam dalam konteks konservasi secara umum diatur terutama dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Perubahannya yang masing-masing kebijakan tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan sejumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Namun pengelolaan sumber daya alam secara khusus dalam perspektif konservasi dengan ruang lingkup pemerintah daerah sejauh ini belum diatur. Oleh karenanya agar penyelenggaraan pembangunan di Provinsi Papua Barat dapat dilakukan melalui prinsip pembangunan berkelanjutan, maka harus diatur pengelolaan sumber daya alam dalam suatu peraturan daerah yang khusus tentang Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi.   Peraturan daerah dengan spesifikasi seperti yang dijelaskan ini pada dasarnya belum ada dan mutlak diperlukan guna mengoptimalkan prinsip pembangunan berkalanjutan, sehingga perlu dibentuk.







  

Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi di Indonesia

Konservasi Papua Barat KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS 1.1.       Latar Belakang 1.1.1.       Wilayah Administrasi Provins...